Indonesia Lawyers Club
LIVE ILC TVOne Selasa 26 Maret Pukul 20.00 WIB, Ini Kilas Balik ILC Sebelumnya Tema OTT Romahurmuziy
Pada edisi sebelumnya, ILC membahas topik sangat menguras perhatian. Tema yang diangkat adalah"OTT Romy, Ketua Umum PPP: Pukulan Bagi Kubu 01?".
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Jimmi Abraham
"Makanya anak istri saya ajak, untuk nunggu saya."
Ia melanjutkan, saat itu pelantikan diundur pada Jumat, namun ia tak mendapati jawaban pasti hingga akhirnya bukan dirinya yang dilantik
"Kamis tidak jadi pelantikan, jadinya jumat. Jumat saat itu saya telepon (kantor), enggak diangkat, akhirnya ada pegawai yang menjawab 'ya mungkin nanti pak tunggu aja nanti ada pelantikan'."
"Singkat cerita saya tidak jadi dilantik, dan tidak diundang," jelasnya.
"Maka betapa malunya, saya guru besar mendapat perlakuan seperti itu," kata Mudjia.
Ia menegaskan, persoalan inti yang ingin disampaikan, ada pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 68 Tahun 2015.
"Saya ingin menyumbang persoalan inti ini adalah PMA 68, PMA 68 ini tidak memberikan kekuasaan kepada senat sebagai institusi tertinggi di setiap perguruan tinggi."
"Senat itu anggotanya guru besar, dan kita tahu guru besar ini tidak mudah diperoleh, jadi guru besar ini tak ada artinya."
Ia pun menjelaskan saat adanya PMA 68, sempat ada penolakan darinya namun keputusan itu tetap terlaksana dengan rayuan bahwa suara tetaplah kampus yang memegang.
Tetapi ternyata hal itu tak berlaku.
"Jadi sesungguhnya rapat senat tidak ada gunanya, rapat pansel tidak ada gunanya, maka kita 4 bulan itu sia-sia."
Ia juga mengatakan menyadari perubahan pada Kemenag saat itu yakni Lukman Hakim.
"Karena itu saya usul pada Pak menteri agama, karena setahu saya pak menteri agama itu mudah diajak bicara ya."
"Tetapi ketika masuk PMA 68 ini begitu sulit ya, saya ingin sekali persoalan ini segera selesai, kita membahas persoalan yang lebih substansif ya, untuk bangsa dan negara," pungkasnya.
Baca: Dwi Suryanto: Lomba Bercerita Anak Untuk Meningkatkan Minat Baca Anak Sejak Dini
Baca: Live RCTI Streaming Indonesia Vs Brunei di Piala Asia U-23, Sedang Berlangsung Babak Pertama
Baca: LINK Live Streaming Charlton Athletic Vs Garuda Select Berlangsung Pukul 20.00 WIB
Mahfud MD Blak-Blakan Ungkap Jual Beli Jabatan Kemenag
Mahfud MD secara blak-blakan mengungkap satu per satu kasus jual beli jabatan di Kemenag.
Hal tersebut diungkap Mahfud MD saat menjadi salah satu pembicara pada program Indonesia Lawyers Club ( ILC) TV One bertajuk OTT Romy, Ketua Umum PPP: Pukulan Bagi Kubu 01? yang ditayangkan di TV One, Selasa (19/3/2019) malam tadi.
"Saya ingin melengkapi kasus-kasus agar selesai ini masalah. Masalah jual beli jabatan, melalui jabatan-jabatan yang tidak wajar. Saya akan sebut satu per satu," kata Mahfud MD.
Kasus pertama adalah kasus rektor UIN Alauddin. Bagi Mahfud MD, kasus tersebut luar biasa.
"Saya ingin melengkapi kasus-kasus agar selesai ini masalah. Masalah jual beli jabatan, melalui jabatan-jabatan yang tidak wajar. Saya akan sebut satu per satu," kata Mahfud MD.
Adalah Prof Andi Faisal Bakti, yang dua kali menang pemilihan rektor di UIN Alauddin, namun tidak pernah dilantik.
Masing-masing saat terpilih jadi rektor di UIN Alauddin Makassar dan UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat).
Meski terpilih, Prof Andi Faisal Bakti, tidak dilantik.
Mahfud MD menjelaskan aturan baru menjadi batu sandungan Prof Andi Faisal Bakti sehingga tidak dilantik saat terpilih jadi rektor UIN Alauddin Makassar.
"Begitu (Andi Faisal Bakti) menang dibuat aturan, bahwa yang boleh menjadi rektor di situ adalah mereka yang sudah tinggal di UIN itu, 6 bulan terakhir paling tidak," papar Mahfud MD.
"Nah, Andi Faisal Bakti ini dosen UIN Makassar, tetapi dia pindah ke Jakarta. Karena sesudah pulang dari Kanada, dia pindah tugas di Jakarta. Dia terpilih di sini. Dan aturannya bahwa harus 6 bulan itu, dibuat sesudah dia menang. Dibuat tengah malam lagi. Dibuat tengah malam. Tidak dilantik." imbuhnya.
"Saya ajak ke pengadilan. Saya yang membantu, menang di pengadilan. Inkrah. Perintah pengadilan, harus dilantik. Tapi tidak dilantik juga. Diangkat rektor lain. Andi Faisal Bakti, ini orang sekarang jadi dosen UIN (Syarif Hidayatullah)," kata Mahfud MD.
Tahun lalu, lanjut Mahfud MD, Andi Faisal Bakti ikut pemilihan di UIN Syarif Hidayatullah (Ciputat).
"Menang lagi, tidak dilantik lagi, di UIN Ciputat. UIN Ciputat nih, Jakarta nih. Orangnya masih ada sekarang, menang lagi, tidak dilantik lagi," ujar Mahfud MD.
Lebih lanjut, Mahfud MD mengungkapkan, Andi Faisal Bakti ternyata sempat diminta membayar Rp 5 miliar agar dirinya diangkat menjadi Rektor UIN Alauddin.
"Andi Faisal Bakti, masih ada nih orangnya, masih ada. Bahkan, sumber yang saya cocokkan dengan Pak Jasin tadi sini, Andi Faisal Bakti itu didatangi oleh orang dimintai Rp 5 miliar kalau mau jadi rektor," jelas Mahfud MD.
Namun, sepertinya, Andi Faisal Bakti memilih tak menempuh jalan suap. Hingga akhirnya ia tak dilantik.
Kasus kedua adalah penggantian Kepala Kanwil Kemenag DIY Yogyakarta
"Penggantian Kepala Kanwil (Kemenag). Namanya pak Lutfi. Pak Lutfi ndak pernah lapor ke saya, tapi saya adalah Ketua Dewan Penasihat Gubernur DIY sehingga saya tahu kasus-kasus ini masuk laporannya kepada saya," kata Mahfud MD.
Mahfud MD memaparkan Lutfi merupakan sosok yang disayangi oleh rakyat dan pemerintah Yogyakarta.
"Orangnya tawadhu, anti radikalisme juga. Tiba-tiba dipindah juga. Baru satu tahun empat bulan (menjabat) dipindah ke Jakarta" kata Mahfud MD.
Padahal, lanjut Mahfud MD, menurut UU ASN, pejabat baru bisa pindah jabatan setelah menjabat dua tahun.
"Lalu ketika ditanya kenapa, katanya diperlukan oleh Menteri Agama. Karena memang ada klausul, kalau sangat diperlukan, boleh," lanjutnya.
"Tapi meskipun eselonnya sama, tapi secara umum orang mengatakan ini 'dibuang'. Dan ternyata betul. Penggantinya siapa pak, penggantinya itu terus terang adalah orang yang dari luar malahan. Yang tidak pernah ikut-ikut ngurus di Departemen Agama," jelas Mahfud MD.
"Kita dari Jogja, termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono (Gubernur) mengirim surat, mendukung seorang namanya Doktor Wardoyo. Ini pembantu Rektor II UIN Yogyakarta. Doktornya dari luar negeri, bahasa Arabnya bagus, bahasa Inggrisnya bagus, karirnya dibangun dari bawah," ujar Mahfud MD.
"Tiba-tiba masuk orang, yang minta maaf, lulusan S2, swasta, yang akhir pekan. Kan ada sekolah akhir pekan ada tu, hanya hari Sabtu. Yang tidak dikenal sama sekali tiba-tiba (masuk) dan nangkring di situ," imbuhnya.
"Kalau ditanya ke Menteri Agama, gimana itu? Ya (jawabnya) kan sudah sesuai prosedur. Persoalannya bukan sesuai prosedur. Kalau prosedur semua orang bisa cari alasan. Kalau nda benar dengan pasal ini, bisa cari pake pasal ini, kan gitu. Ini orangnya masih ada semua nih," jelas Mahfud MD.
Mahfud MD turut memaparkan pelanggaran UU ASN lainnya yang terjadi di Kementerian Agama.
"Kementerian Agama ini harus diperbaiki," kata Mahfud MD.
Kasus ketiga di IAIN Meulaboh yakni terkait pemilihan Rektor.
"Pak Samsuar (rektor terpilih) diperlakukan hal yang sama. Dia satu-satunya memenuhi syarat dan terpilih sebagai rektor di situ. Tetapi menurut aturannya PMA 68 itu, calonnya harus tiga. Padahal tidak ada di situ tiga orang disitu memenuhi syarat. Didatangkan dari luar dengan maksud untuk formalitas," kata Mahfud MD.
Dengan kasus-kasus tersebut, lanjut Mahfud MD, maka sekjen dan kepala biro kepegawaian harus diperiksa.
"Saya kira dia punya peran penting di situ. Entah ada korupsinya, entah apa tidak, tapi pasti lewat dia setiap urusan seperti ini," jelas Mahfud MD.
Baca: Italia Vs Liechtenstein, Live Streaming Kualifikasi Euro 2020, Roberto Mancini Turunkan Moise Kean
Baca: Atbah Tegaskan Larangan Kendaraan Roda Enam Melintas di Dua Jembatan Bersejarah Sambas
Baca: Bupati Rupinus Apresiasi Perkemahan Lomba Gudep Terampil
Karni Ilyas : Kasus Kelima Jerat Ketua Umum Partai
Dalam pengantar diskusinya, Presiden ILC Karni Ilyas mengatakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy merupakan kabar yang sungguh mengejutkan.
Terlebih pada Jumat (15/03/2019) lalu, dunia internasional dihebohkan dengan aksi brutal penembakan massal di Selandia Baru terhadao jemaah masjid yang usai Salat Jumat.
"Tiba-tiba di Indonesia kita dikejutkan oleh OTT Ketum PPP Romahurmuziy atau yang dipanggil Romi," terangnya.
Saat OTT, Rommy diduga menerima uang dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik Jawa Timur.
Bung Karni menambahkan keterkejutannya semakin menjadi-jadi lantaran penangkapan itu berlangsung sekitar satu bulan menjelang Pemilu 2019.
"Dan beliau (Rommy_Red) adalah Ketua Umum partai yang cukup tua di Indonesia dan partai punya sejarah panjang sekali," jelasnya.
Penangkapan Rommy, kata dia, adalah perkara kelima kasus tindak pidana korupsi yang menjerat Ketua Umum partai di Indonesia.
Sebut saja, kasus tipikor mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Ketum DPP Partai Golkar Setyo Novanto dan mantan Ketum PPP Suryadharma Ali yang sudah mendapat vonis hukum.
Kasus OTT Rommy dinilai lebih menarik sebab bukan kasus jual beli jabatan seperti yang biasa atau rekomendasi untuk memenangkan proyek atau kuota impor.
"Namun, kasus jual beli jabatan. Untuk menjadi pejabat Kanwil rupanya ada harganya," timpal Bung Karni.
Baca: Berikut Daftar Atlet Renang Kalbar Untuk Pra PON
Baca: DPD JAMAN Kalbar Sebut Kehadiran Jokowi Pemacu Semangat Untuk Menang Pemilu
Baca: Pemkab Sekadau Sosialisasikan Perda Nomor 2 tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Perijinan Kesehatan
KPK Paparkan Runut OTT Romahurmuziy
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Febri Diansyah memaparkan secara runut terkait kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Rommy.
Penangkapan Rommy dilakukan pada Jumat (15/03/2019) lalu. Sebelum OTT, KPK telah mendapat informasi dari masyarakat.
"Kita cek lebih lanjut sebagai klarifikasi dan validasi. Diuji," ujarnya.
Saat cek lokus di Surabaya, KPK mendapatkan kenyataan bahwa informasi itu terkonfirmasi.
KPK temukan ada dugaan transaksi antara pihak pemberi dalam hal ini orang yang memang sejak awal ingin ditempatkan menduduki jabatan sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur.
"Ada satu jabatan lagi, Kepala Kantor Kemenag Gresik," terang Febri.
Pada hari Jumat (15/03/2019) itu, KPK mendapati jumlah uang pemberian yang menjadi bukti OTT tidak terlalu banyak.
Besarannya hanya berkisar Rp 200 juta rupiah. Namun, sebelum penangkapan diduga ada pemberian sejumlah uang di rumah Romahurmuziy, kawasan Condet, Jakarta Timur.
Usai OTT, pihaknya lantas lakukan tindakan awal seperti penyegelan beberapa ruangan di Kantor Kementerian Agama RI.
Seperti ruangan Menteri Agama (Menag) RI Lukman Hakim Saifuddin, Sekjen Kemenag RI dan Biro Kepegawaian.
"Dan ruangan lain di Jakarta dan Jawa Timur. Sampai kemarin, penggeledahan di sana (ruang Menag RI_red) dan ditemukan sejumlah bukti," imbuhnya.
Febri menegaskan apa yang dilakukan KPK saat ini adalah semata-mata proses hukum saja.
Ia pinta agar proses hukum ini diletakkan secara jernih.
"Tidak ditarik dalam konteks hubungan atau relasi-relasi politik lainnya," pintanya.
Febri Diansyah membantah isi surat mantan Ketum PPP Romahurmuziy yang menulis bahwa dijebak dalam kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Saya juga sempat baca surat Rommy yang diberikan oleh wartawan kepada KPK. Yang saya cermati ada dua pemahaman. Dijebak oleh KPK atau dijebak kawannya sendiri," ujarnya.
KPK tidak mau mengomentari secara jauh terhadap surat yang ditulis oleh Rommy pasca OTT.
"Kami tidak masuk di situ," tegasnya.
KPK, terang dia, sudah sering melihat pembelaan dari tersangka yang awalnya mengaku dijebak saat terciduk.
Bahkan, ada yang menggunakan berbagai dalil sebagainya.
Ada juga pelaku yang mengakui perbuatannya.
"Kami sudah sering melihat. Ada yang bersumpah tidak pernah menerima satu rupiahpun. Namun, di sidang ternyata terima Dollar," imbuh Febri.
Febri menegaskan kembali bahwa pembelaan itu bukan hal penting buat KPK.
Sebab, KPK tidak bisa beracuan dari bantahan tersangka. Namun, yang diuji adalah alat bukti.
"Dalam kasus ini, dugaan penerimaan uang sudah teridentifikasi dan didukung bukti kuat," timpalnya.
Dugaan penerimaan itu ada dan diantar ke rumah Rommy di Condet, Jakarta Timur. Nilainya sekitar Rp 250 juta.
Kemudian, ada pertemuan yang membahas dua hal. Semisal, berapa uang terimakasih yang akan diberikan.
Termasuk, siapakah yang bisa ditemui untuk mengurus jabatan itu.
"Dalam konteks itu, kami dapatkan informasi. Tersangka HRS (Haris Hasanuddin) pernah mendapatkan hukuman disiplin," paparnya.
Seharusnya, jika HRS sudah dihukum maka tidak boleh menduduki jabatan tertinggi sebagai Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur.
Di titik itu, KPK menduga ada upaya kerjasama antara pihak Kemenag dan Rommy untuk meloloskan dan menempatkan seseorang ke jabatan itu.
Dari bukti itu, pihaknya meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan.
KPK yakin dengan proses hukum ini. Selama ini, kasus-kasus yang diungkap oleh KPK selalu diputus bersalah dan mendapatkan kekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Kami juga tidak ingin bukti lemah dan menzolimi orang. Kalau bukti kuat kami maju. Kalau berjalan di koridor hukum, soal kiri atau kanan ada kepentingan lain, maka itu di luar KPK," jelas Febri.
"Alat uji adalah bukti-bukti itu sendiri. Syukur-syukur kooperatif, mengakui dan mengembalikan uang," tandasnya.
Baca: Bawaslu Kalbar Sebut ASN Boleh Jadi Pendengar Kampanye Terbuka
Baca: 8 Produk Sehari-hari Ini Sangat Berbahaya, Hentikan Pengunaannya!
Baca: Kembangkan Kreativitas Peserta Didik, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Gelar Porseni PAUD
ICW Sebut Parpol dalam Lingkaran Setan Korupsi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai kondisi partai politik (parpol) berada dalam lingkaran setan korupsi politik.
Hal ini berkaca dari pola yang terus berputar dari economic capital menuju power capital, kemudian kembali lagi kepada economic capital.
Economic capital itu mengacu kepada orang kuat berduit yang menguasai parpol.
Ketika memiliki uang dan akses kepada parpol maka resultan yang dikejar adalah kapital secara politik.
"Ketika itu sudah terjadi, maka ingin kembali ke economic capital, berputar terus seperti itu. Kita berada dalam lingkaran setan korupsi itu sendiri," ujarnya saat program diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne bertema OTT Romy, Ketua Umum PPP: Pukulan Bagi Kubu 01?", Selasa (19/3/2019) malam.
Jika dilacak dan diurai siapa orang-orang kuat yang ada di organisasi politik saat ini, maka didapatkan kenyataan bahwa orang yang punya partai adalah orang-orang yang kuat secara kekuatan ekonomi.
"Ini termasuk partai baru," terangnya.
Di sisi lain, pendirian parpol dianggap begitu mahal. Itu belum dihitung dengan biaya operasional menjalankan parpol yang juga sangat mahal.
ICW, terang dia, pernah lakukan riset bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari riset itu didapatkan data bahwa kebutuhan operasional parpol pertahun berada diangka sekitar Rp 200-250 Milyar.
"Itu hanya operasional saja, belum kampanye. Angka itu karena struktur parpol sampai ke provinsi dan kabupaten/kota," jelas Donal Fariz.
Kondisi perlunya biaya besar dan mahal ini menjadi masalah bagi semua partai.
Imbasnya, tidak jarang membuat partai politik dikuasai oleh orang-orang kuat secara finansial.
"Itu bisa dibaca dari profil para ketua partai," imbuhnya.
Ia menilai kasus sama juga terjadi pada mantan Ketua PPP Romahurmuziy.
Rommy diduga butuh kapital atau modal besar untuk kuasai PPP.
"Karena semahal itu. maka harus ada return atau pengembalian yang besar. Isu jual beli jabatan itu salah satu cara return," katanya.
Kasus OTT Rommy, kata dia, jadi momentum agar tidak ada lagi negara harus mengintervensi parpol.
Sejak pasca reformasi, Indonesia tidak ada blue print atau cetak biru tata kelola parpol.
"Zaman SBY tidak ada. Zaman Jokowi juga tidak ada. Kami mendorong reformasi tata kelola parpol," tukasnya.
Baca: 1.303 Peserta Ikuti Kembangkan Kreativitas dan Sportivitas Anak Melalui Porseni PAUD
Baca: Pembunuhan Siti Zulaeha Merebak, Rumah Wahyu Jayadi Tampak Kosong
Baca: Awas, Wanita Lebih Berisiko Depresi Dibanding Pria
Nusron Wahid : Bukan Pukulan Telak untuk Kubu 01
Juru Bicara Tim Kampanye nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Nusron Wahid menyebut kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Rommy atas isu jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) RI bukanlah pukulan telak bagi kubu Capres-Cawapres nomor urut 01.
"Ini pukulan untuk bangsa Indonesia. Bukan pukulan untuk nomor urut 01 atau 02," ujarnya saat program diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne bertema OTT Romy, Ketua Umum PPP: Pukulan Bagi Kubu 01?", Selasa (19/3/2019) malam.
Kasus ini tentu tidak berpengaruh terhadap elektabilitas Joko Widodo. Sebab, Rommy bukan calon presiden dalam Pilpres 2019.
"Dilihat yang nyalon apakah Jokowi atau Rommy. Yang nyalon Jokowi, ya yang dipilih Jokowi, bukan Rommy," katanya.
Nusron menilai kasus yang menjerat Rommy juga merupakan pukulan untuk umat Islam.
Sebab, PPP adalah satu diantara partai bernafaskan Islam. Kasus ini juga pukulan bagi Kementerian Agama.
"Ini pukulan untuk parpol (PPP_red). Ini berbahaya karena dapat menciptakan defisit kepercayaan pada parpol itu," imbuhnya.
Tidak hanya itu, kasus Rommy ini menjadi pukulan bagi semua orang.
Menurut dia, orang yang melakukan korupsi bukan hanya Rommy saja, namun bisa saja menimpa semua orang.
"Ini problem semua dan musuhnya bangsa Indonesia," tegasnya.
Tindakan pidana korupsi, terang dia, terjadi lantaran disebabkan defisit moral bangsa.
Pemberangusan korupsi menjadi tugas dan peran semua masyarakat.
Mulai dari komitmen penjabat negara, masyarakat dan civil society.
Kasus OTT Rommy menandakan KPK bukan kaki tangan Presiden Jokowi.
"Ini membantah semua aksioma politik selama ini. KPK bebas dari intervensi Jokowi," ujar Nusron.
"Siapapun yang kena hukum maka dihukum. Tidak tajam ke sebelah apalagi disebut kriminalisasi," pungkasnya.
Baca: Hanya 10 Menit, 8 Cara Ini Bisa Turunkan Tekanan Darah
Baca: LOOP dan Gramedia Gelar Simulasi SBMPTN 2019 Serentak Se-Indonesia
Baca: VIDEO: Anggota Polisi jadi Korban Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Sultan Abdurrahman Pontianak
Fadli Zon Sebut OTT Rommy Bukti Kegagalan Nyata Pemerintahan Jokowi
Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon menganggap kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Rommy sebagai kegagalan nyata dari Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo.
"Kasus Rommy ini, hulunya adalah Presiden. Tidak punya ketegasan terhadap pembantu-pembantunya. Ini kegagalan nyata. Ini tidak bisa diabaikan begitu saja," ungkapnya saat program diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne bertema OTT Romy, Ketua Umum PPP: Pukulan Bagi Kubu 01?", Selasa (19/3/2019) malam.
Ia menilai kegagalan ini bersifat sistemik lantaran OTT menjerat orang dekat yang selalu bersama dengan Presiden Jokowi di media mainstream maupun media sosial.
"Pak Jokowi dan Rommy adalah dua sejoli. Selalu bersama," imbuhnya.
Wakil Ketua Partai Gerindra itu menimpali kasus ini mencitrakan bahwa Presiden Jokowi tidak mampu menertibkan dan tunaikan janji-janji reformasi birokrasi guna menciptakan good governance dan clean governance.
Menurut dia, selama ini reformasi birokrasi hanya menjadi retorika politik saja.
Ini dilema yang harus dipecahkan. Orang-orang dari partai politik harus punya track record dan kapabilitas, terutama menteri.
Apalagi dalam kasus ini Kementerian Agama yang harusnya paling suci diantara kementerian lainnya.
"Karena ini menggerus masalah bukan hanya manusia saja, tapi juga Tuhan," terangnya.
Kasus ini juga menyiratkan ada leadership atau jiwa kepemimpinan yang salah dari Presiden sehingga membuka peluang-peluang korupsi.
Praktik-praktik seperti ini bukan hal baru, tapi sudah berkepanjangan.
"Jika Prabowo jadi Presiden, maka pemberantasan langsung dipimpin Presiden. Kalau sekarang ini kan seperti dagang sapi. Ada pembiaran dan jadi persoalan. Dulu ada koalisi tanpa syarat, ternyata nyatanya ada syarat dan menjadi transaksi politik. Hilirnya ke jual beli jabatan," tudingnya.
Fadli Zon memberikan apresiasi kepada OTT yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut dia, tentu ada prosedur standar dan prosedur OTT yang benar-benar berangkat dari bawah sebelum OTT KPK.
"Ini keterlaluan. Korupsi ini sesuai dengan pernyataan Pak Prabowo bahwa korupsi di Indonesia sudah Stadium 4. Sebelumnya diledek-ledek kan. Sekarang ini nyata lho," tukasnya.
Baca: Usai Sentil Sandiaga Soal Cantrang, Susi Pudjiastuti Akan Tetap Tenggelamkan Kapal Ilegal Fishing
Baca: Yossy Wirda Dukung Rencana Pemkot Pontianak Beri Insentif Bagi Guru TK PAUD
Baca: Bulan Madu di Swiss, Syahrini & Reino Barack Kepergok Santap Makanan Yang Dilarang Banyak Negara
Anggap OTT Rommy Kejadian Sangat Menyakitkan, Rhoma Irama Kenang Perjuangan saat di PPP
Raja dangdut Indonesia, H Rhoma Irama menyebut kasus Operasi Tangkap tangan (OTT) isu jual beli jabatan Kemenag yang menjerat mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy atau Rommy sangat menyakitkan semua pihak.
Ia sempat mengutip sebuah Hadis Rasulullah SAW yang artinya bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Rhoma Irama mengatakan jika seseorang yang bersalah itu adalah rakyat biasa atau tokoh yang tidak ada dalam konteks agama dan negara merupakan hal biasa.
"Sangat menyakitkan. Kalau yang bersalah adalah tokoh partai politik berazas Islam, bersimbol Ka'bah kiblat umat Islam sedunia. Ini bukan hal biasa. Tapi luar biasa," ungkapnya saat program diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) TVOne bertema OTT Romy, Ketua Umum PPP: Pukulan Bagi Kubu 01?", Selasa (19/3/2019) malam.
Pendiri Partai Idaman itu mengakui bahwa dirinya sudah tidak asing dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebab, ia pernah jadi simpatisan.
"Dulu, saya katakan numpang jihad di PPP untuk berjuang. Bang Ridwan Saidi jadi saksi," imbuhnya.
Saat itu, ia rajin dan aktif kampanye keliling Indonesia. Rhoma bahkan siap berkorban harta dan jiwa untuk membela PPP dari tahun 1977-1982.
"Karierpun saya korbankan," timpalnya.
Namun, ia pernah terpukul ketika mendapat informasi tindak pidana korupsi yang menjerat mantan Menteri Agama RI sekaligus mantan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali.
Untuk memastikan kebenaran kabar itu, Rhoma bahkan datang langsung membesuk Suryadharma Ali ke Lapas Sukamiskin.
"Hal ini sangat menyakitkan karena berapa banyak orang telah korbankan harta dan jiwa. Dulu kampanye keras, tidak kayak sekarang. Dulu kami berdarah-darah berjuang dengan beliau," kata Rhoma Irama.
Rhoma kembali meluapkan rasa kekecewaannya bahwa tidak seharusnya PPP terjerumus terhadap kasus-kasus seperti ini.
Ada simbol Islam yakni Ka'bah yang termuat dalam bendera PPP.
Kasus ini, kata dia, betul-betul sangat menyakiti perasaan umat Islam yang merasa tercemar dan terciderai.
"Saya dan ulama yang berijtihad dan beristikharah membuat simbol ini. Saya kira arwah ini tidak pernah rela terhadap hal-hal seperti ini," tegasnya.
Berkaca dari kasus ini, Rhoma Irama mengimbau kepada partai-partai politik bersimbol Islam untuk selalu ingat bahwa di pundak tergantung nama baik umat dan Islam.
"Di pundak anda ada Islam. Ada nama baik umat dan islam. Semoga ke depan ornag-orang yang terlanjur buat salah untuk taubatan nasuha. Sehingga, tidak terjatuh dan tidak merusak citra Islam secara nasional," tandasnya. (*)
Lebih dekat dengan kami, follow akun Instagram Tribun Pontianak :
