Puasa Mengajarkan Hidup Sederhana
Tentu hal ini tidak dibenarkan, dan secara otomatis kita sudah keluar dari jalur tujuan kita diciptakan yakni beribadah kepada Allah SWT.
Penulis: Muhammad Luthfi | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Paling tidak ada dua urusan atau hal yang senantiasa diurusi manusia. Pertama, urusan perut (berupa keinginan makan minum). Kedua, (maaf) urusan di bawah perut (nafsu seksual).
Kedua urusan inilah yang senantiasa tidak terlepas dari diri manusia.
Sehingga, untuk mengembalikan fitrah manusia, perlu adanya sesuatu yang dapat menahan manusia untuk tidak menjadikan dua hal tersebut sebagai penghambaan terpentingnya. Sesuatu itu diantaranya adalah puasa.
Puasa yang kita jalani, wabil khsusus puasa ramadhan saat ini, diyakini akan mampu mengendalikan kedua urusan tersebut. Karena dengan berpuasa, paling tidak kita akan tahu mana yang merupakan skala prioritas dan mana yang bukan.
Baca juga: Dinkes Sambas: 500 PMI Masih di Karantina
Dengan puasa ramadhan, paling tidak bisa mengontrol kita terhadap kedua urusan itu.
Namun demikian, Secara normal kita menyadari bahwa sesungguhnya, kedua hal itu merupakan kebutuhan.
Diusia-usia tertentu itu merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Namun demikian, tidak jarang karena kedua hal itu juga, kita justru masuk ke jurang kedurhakaan kepada Allah SWT, karena lari dari maksud kita diciptakan.
Pada kesempatan ini, penulis hanya fokus pada urusan pertama, yakni urusan perut.
Secara sadar, tidak bisa kita pungkiri Puasa merupakan sarana terbaik dalam mengendalikan urusan perut dan urusan dibawah perut (nafsu seksual) yang secara otomatis kedua hal ini tidak bisa terlepaskan dari orang-orang yang ingin puasanya diterima disisi Allah SWT.
Ya, urusan perut. Sederhananya yakni mengurusi makan dan minum. Memang setiap orang pasti memiliki urusan ini, karena ia merupakan kebutuhan pokok.
Jika ditinggalkan seseorang bisa mati. Sehingga dengan alasan ini, seseorang dituntut untuk senantiasa memenuhinya.
Karena, memang kebutuhan pokok, tentu menuntut orang untuk bekerja dan berusaha maksimal dalam mendapatkannya.
Lantas, apakah karena kebutuhan pokok itu kita harus berani meninggalkan kewajiban kita sebagai orang yang beriman? Secara sadar, tentu jawabannya tidak berani. Namun, secara sadar juga kita terkadang sering meninggalkannya.
Baca juga: Pencemaran Aliran Sungai Kerap Terjadi, DPRD Sambas Akan Usulkan Perda Perlindungan Lingkungan Hidup
Sebagai contoh, orang harus mati-matian untuk bekerja demi mencari sesuap nasi dan seteguk air.
Secara kemanusiaan, hal ini tentu wajar dilakukan. Namun, yang tidak wajarnya adalah untuk shalat mereka mati-matian meninggalkannya.