1.512 Satgas Edukasi Warga, Sasar 100 Desa Rawan Karhutla

Kehadiran Satgas dan Satgab di tengah masyarakat ia harapkan tidak menjadi “hantu” bagi petani.

Editor: Jamadin
TRIBUN PONTIANAK/ANESH VIDUKA
Gubernur Kalimantan barat, H.Sutarmidji bersama Pangdam XII Tanjungpura, Mayjen TNI Herman Asaribab, Kapolda Kalbar, Irjen Didi Haryono dan sejumlah pejabat lainnya memeriksa pasukan dalam Apel Siaga Darurat Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan provinsi Kalimantan Barat tahun 2019 di Lapangan kantor Gubernur Kalbar, Jalan A Yani, Pontianak, Selasa (23/7/2019). Apel dengan tema "Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita".BNPB membentuk satgas gabungan karhutla yang melibatkan pemprov, pemerintah kabupaten/kota, TNI dan Polri, satgas gabungan karhutla ini nantinya akan ditempatkan di 100 desa/kelurahan yang rawan terjadi Karhutla. Satgas gabungan karhutla terdiri dari 1000 personil TNI, 205 personil Polri, 105 orang anggota BPBD dan 205 orang masyarakat. 

Dilihat dari kelas rawan bencana, terdapat tujuh wilayah di Kalbar yang tergolong tinggi, yakni Kubu Raya, Kota Pontianak, Sambas, Landak, Bengkayang, Sanggau, dan Mempawah; sisanya, 7 daerah lainnya tergolong sedang (BNPB, 2013).

Menurut saya membakar bukanlah budaya petani, tetapi pilihan cerdas yang diambil petani sebagai bagian dari strategi mengurangi ongkos produksi (production cost reduces). Strategi itu dilakukan dan dipilih petani disebabkan pemerintah belum memberi perlindungan sepenuhnya kepada petani.

Peran para pihak, seperti perusahaan non pertanian, non perkebunan dan non kehutanan pun menunjukkan kontribusi yang masih sangat kecil.

Bagi petani, membakar dimaksudkan untuk memotong proses produksi agar proses menjadi lebih cepat dan mengurangi biaya.

Dengan membakar, petani berharap akan terdapat selisih modal yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan lain dan kesejahteraan mereka yang kini masih terlupakan pemerintah. Jadi, membakar adalah bagian dari pilihan cermat petani. Jangan mereka disalahkan karena ego pemerintah atau atas desakan kapitalis.

Saya berharap, dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan yang selama ini mengharapkan tidak ada kabut, dapat dialokasikan untuk membantu pendanaan dari pemerintah bagi pengurangan mitigasi bencana asap dengan disalurkan kepada petani yang tidak membakar dalam bentuk bantuan bibit, pupuk, pembalian hasil produksi dengan standar harga pemerintah dan lain-lain.

Kehadiran Satgas dan Satgab di tengah masyarakat ia harapkan tidak menjadi “hantu” bagi petani.

Kehadiran mereka saya harapkan dapat menjadi guru yang dapat membantu petani dalam menyelesaikan masalah mereka.

Jangan ada lagi petani yang diproses hukum karena membakar, sebab Perda No 6 tahun 1998 masih memaklumi dan mengijinkan petani untuk membakar menurut kearifan local. Oleh karena itu, satgas dan satgab mesti mengetahui hal ini sehingga tidak sembarang tangkap.

Tidak ada orang yang tidak tahu bahwa asap menimbulkan dampak yang luas. Kemunculannya pun semua orang sudah tahu, yakni kebakaran.

Namun, tidak jarang dijumpai orang membakar lahan sehingga seakan tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan.

Bantu petani meringankan beban biaya mereka dan saya yakin kabut asap pun dapat diminimalisir; sehingga nanti keberadaan satgas dan satgab tidak lagi diperlukan karena kepentingan petani telah diakomodir pemerintah dan para pihak.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved