Pembangunan rendah karbon tidak cocok buat negeri-negeri terbelakang seperti Indonesia, yang masih berkutat dengan persoalan meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Untuk Kalimantan Barat, pembangunan rendah karbon lebih tidak cocok lagi, karena Kalimantan Barat masih masuk dalam kategori provinsi yang tertinggal untuk tingkat Pulau Kalimantan.
Masalah pengurangan emisi gas rumah kaca versus pertumbuhan ekonomi inilah yang pada tingkat global menyebabkan kenapa misalnya Amerika Serikat tidak ikut kesepakatan internasional tentang perubahan iklim seperti Protokol Kyoto, karena harus mengorbankan pertumbuhan ekonominya.
Amerika Serikat juga menarik diri dari Paris Agreement, kesepakatan perubahan iklim terbaru yang disepakati di Paris pada bulan Desember 2015.
Selain itu, pembangunan rendah karbon juga mensyaratkan tingkat deforestasi yang rendah. Seperti telah diketahui bersama, tingkat deforestasi yang tinggi telah menyebabkan kawasan hutan Indonesia semakin habis.
Pada tahun 2019, menurut dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024, luas tutupan hutan primer hanya tinggal 43 juta hektar.
Padahal pada tahun 2000, luas tutupan hutan primer masih sekitar 27,7 persen dari total luas lahan nasional (189,6 juta
hektar) atau sekitar 52,51 juta hektar (lihat halaman 18).
Secara teknis, pelepasan gas rumah kaca (terutama CO2) memang banyak dihasilkan dari perubahan tata guna tanah, khususnya pembukaaan hutan primer dan lahan gambut.
Semakin banyak hutan dan lahan gambut dibuka untuk perkebunan, pertambangan serta konsesi kayu, maka semakin besar pula pelepasan gas rumah kaca terutama CO2.
Pada tingkat Kalimantan Barat, Bappeda Kalimantan Barat memperkirakan emisi gas rumah kaca dari kehutanan dan lahan gambut pada tahun 2020 mencapai 93,82 persen atau 533.589.632 ton CO2-equivalent.
Dengan tingkat emisi gas rumah kaca setinggi ini tentu dibutuhkan upaya yang keras dari Pemerintah Daerah Kalimantan Barat (Pemda Kalbar) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari kehutanan dan lahan gambut.
Agenda kerja Pemda Kalbar Tahun 2018-2023 seperti menurunkan luas kerusakan kawasan hutan melalui rehabilitasi hutan dan lahan kritis tentu sangat dihargai. Akan tetapi itu tidak
cukup.
Pemda Kalbar harus berani melakukan moratorium sawit yang telah dimandatkan oleh Inpres 8/2018
tentang Moratorium Sawit, termasuk memberikan sanksi keras misalnya mencabut perizinan perkebunan terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang menanam sawit di kawasan hutan dan lahan gambut.
Data Link-AR Borneo pada tahun 2018 memperlihatkan bahwa Pemerintah Kalimantan Barat telah mengeluarkan izin luas perkebunan sawit mencapai 4,7 juta hektar atau 32 persen luas daratannya telah dibebani izin usaha perkebunan kelapa sawit.
Jumlah perizinan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat menurut data Link-AR Borneo sebanyak 454 izin dengan luas total mencapai 4.710.490 hektare.