Link-AR Borneo Soroti Rencana Pembangunan Rendah Karbon Kalbar 2018-2023

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Eksekutif Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), Eko Zanuardy

SINGKAWANG - Pada tanggal 29 Januari 2020, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan 
Barat mengeluarkan sebuah dokumen rencana pembangunan yang berjudul “Menuju Pembangunan Rendah Karbon di Kalimantan Barat dalam Kerangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023”. 

Dokumen pembangunan ini lebih fokus pada rencana kerja daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon di Kalimantan Barat.

Dengan demikian, dokumen Bappeda Provinsi Kalimantan Barat tersebut merupakan bagian integral dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023 terkait dengan sektor lingkungan dan perubahan iklim. 

Kontroversi Sikap Challenge Berbahaya Bagi Remaja, Ini Komentar Pelajar

Dokumen rencana pembangunan tersebut patut menjadi perhatian Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo  (Link-AR Borneo), sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang selama ini telah bekerja di beberapa kabupaten di Kalimantan Barat untuk mempromosikan pembangunan rendah karbon dan pembangunan sawit berkelanjutan.

"Siaran Pers Link-AR Borneo kali ini hendak menyoroti rencana pembangunan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2023 terkait pembangunan rendah karbon," kata Direktur Eksekutif Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), Eko Zanuardy, Minggu (23/2/2020).

Pembangunan rendah karbon artinya adalah pembangunan dengan tingkat emisi gas rumah kaca yang rendah. Pembangunan rendah karbon secara  teknis mensyaratkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh penggunaan sumber-sumber  energi tidak terbarukan ditekan rendah mungkin, serta mengurangi emisi gas rumah kaca terutama CO2  secara drastis.

Oleh karenanya, pembangunan rendah karbon punya syarat tertentu yang tidak mudah, yakni negara atau daerah yang hendak menjalankannya harus telah mencapai taraf kemajuan industri yang stabil dan tingkat kesejahteraan rakyat relatif tinggi.

Di dalam perjanjian perubahan iklim Protokol Kyoto, negara-negara itu dikenal sebagai negara-negara golongan Annex 1. Negara-negara Annex 1 Protokol Kyoto didominasi oleh negara-negara Eropa, baik Eropa Barat maupun Eropa Timur. 

Negara-negara yang masuk negara Annex 1 Protokol Kyoto adalah  negara-negara industri yang menjadi negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada tahun 1992, plus negara-negara dengan ekonomi transisi termasuk Federasi Rusia, negara-negara Baltik, serta beberapa negara Eropa Timur dan Eropa Tengah. 

Protokol Kyoto merupakan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca  gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.

"Komitmen yang mengikat secara hukum ini, menempatkan beban pada negara-negara maju, dengan berdasarkan pada prinsip common but differentiated responsibilities," tuturnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam praktiknya, banyak negara  industri yang tidak berhasil menjalankan ketetapan Protokol Kyoto sebagai negara Annex 1, dengan  alasan pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan perubahan iklim semakin gawat. 

Negara-negara inilah yang secara internasional oleh Protokol Kyoto diwajibkan untuk membangun dengan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang rendah atau pembangunan rendah karbon.

Indonesia termasuk negara non-Annex 1, artinya tidak wajib membangun dengan skema rendah karbon atau menurunkan tingkat emisi gas rumah kacanya.

Artinya pembangunan rendah karbon, hanya cocok untuk negeri-negeri industri maju di mana kesejahteraan rakyat sudah cukup tinggi.

Wakili Indonesia di Ajang Miss Word 2020, Inilah Harapan Aldora Helsa Goewyn

Halaman
123

Berita Terkini