Literasi dan Edukasi Hukum Perfilman, LSF Tekankan Pentingnya Surat Tanda Lulus Sensor

Sebagai bagian dari upaya berkelanjutan, LSF kini menggencarkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri dengan kegiatan terjun langsung ke masyarakat

Penulis: Nina Soraya | Editor: Nina Soraya
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/NINA SORAYA
EDUKASI SENSOR FILM - Ketua Subkomisi Penyensoran LSF Hadi Artomo (tiga dari kiri) bersama para narasumber dalam kegiatan "Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran" pada Rabu, 16 Juli 2025 di Hotel Mercure, Pontianak, Kalimantan Barat. LSF mengingatkan seluruh tayangan yang beredar di ruang publik, baik di televisi maupun bioskop, wajib memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia menyelenggarakan kegiatan bertajuk "Literasi dan Edukasi Hukum Bidang Perfilman dan Penyensoran" pada Rabu, 16 Juli 2025 bertempat di Hotel Mercure, Pontianak, Kalimantan Barat.

Kegiatan ini menjadi bagian dari program nasional LSF dalam menyosialisasikan pentingnya penyensoran film dan edukasi hukum dalam dunia perfilman kepada masyarakat luas.

Dalam kegiatan ini, Hadi Artomo, M.Sn., selaku Ketua Subkomisi Penyensoran LSF turut hadir dan membuka kegiatan.

Ia menegaskan bahwa seluruh tayangan yang beredar di ruang publik, baik di televisi maupun bioskop, wajib memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Hal ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang menjadi dasar hukum keberadaan dan kerja LSF.

"Setiap tayangan wajib mengantongi STLS yang mencantumkan klasifikasi usia penonton. Ada empat kategori usia: Semua Umur (SU), 13+, 17+, dan 21+.

Ini penting agar masyarakat dapat memilah tontonan yang sesuai dengan usia dan tahap perkembangan psikis masing-masing penonton," ujar Hadi.

Edi Rusdi Kamtono Dukung LSF Kembangkan Kampung Sensor Mandiri di Kota Pontianak

Ia juga menekankan dampak negatif yang bisa timbul bila anak-anak menonton film yang tidak sesuai klasifikasi usia.

“Anak usia 13 tahun belum cukup matang untuk menyerap konten usia 17+. Ini bisa berdampak serius pada perkembangan psikologis mereka,” tambahnya.

Sebagai bagian dari upaya berkelanjutan, LSF kini menggencarkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri, yaitu kegiatan edukatif dengan terjun langsung ke masyarakat, termasuk pemutaran film yang sesuai klasifikasi usia dan diskusi publik.

Lebih lanjut, LSF juga mengedukasi masyarakat mengenai aspek hukum dalam produksi film. Mulai dari penulisan skenario, pengambilan gambar, penggunaan musik, hingga pendistribusian film — semuanya memiliki aspek hukum, terutama terkait hak cipta.

“Film bukan hanya karya seni, tetapi juga produk hukum. Maka penting bagi semua pelaku industri film dan masyarakat untuk memahami regulasi yang mengatur perfilman di Indonesia, terutama pentingnya STLS sebagai syarat utama penayangan,” pungkas Hadi.

Melalui kegiatan ini, LSF berharap tercipta masyarakat yang sadar hukum, cerdas memilih tontonan, dan turut menjaga ekosistem perfilman nasional yang sehat dan berkualitas.

Deretan Film Horor Tayang di Bioskop Juli 2025, Siap Bikin Merinding Pecinta Genre Supranatural

Kegiatan ini diikuti para sineas Kalimantan Barat, mahasiswa, komunitas, hingga jurnalis Pontianak.

Satu di antara pembicara kegiatan ini adalah Ketua Subkomisi Apresiasi dan Promosi Lembaga Sensor Film (LSF), Gustav Aulia yang menyatakan LSF berperan melindungi masyarakat dari film-film mengandung adegan-adegan yang tidak sesuai norma serta dari hal-hal yang dapat menimbulkan dampak negatif.

Lembaga Sensor Film dalam melakukan penelitian dan penilaian terhadap film yang disensorkan selalu berpedoman pada acuan utama yakni tema, nuansa, dan konteks.

Selama tahun 2024 LSF telah melakukan penyensoran sebanyak 42.339 judul itu untuk yang tayang di layar lebar, televisi, dan jaringan teknologi informatika.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved