Alasan MK Tolak Legalkan Nikah Beda Agama Lengkap dengan Landasan Hukum

pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetap menjadi hak masing-masing orang untuk memilih

Editor: Rizky Zulham
Dok. Pertamina
Ilustrasi menikah. Alasan MK Tolak Legalkan Pernikahan Beda Agama Lengkap dengan Landasan Hukum. 

Berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua, pertama beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.

Adapun perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji.

Peran negara bukanlah membatasi keyakinan seseorang melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.

Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.

Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.

Jaminan Negara dalam Penyelenggara Perkawinan

Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, Wahiduddin mengatakan, campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan tidak sampai menjadi penafsir agama bagi keabsahan perkawinan.

Dalam hal ini negara menindaklanjuti hasil penafsiran lembaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hasil penafsiran tersebut yang kemudian dituangkan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan beda agama tetaplah pemuka agama. Dalam hal ini yang telah disepakati melalui lembaga atau organisasi keagamaan, bukan penafsiran yang dilakukan oleh individu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Keberadaan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah sesuai dengan esensi Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 yakni berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjamin pelaksanaan ajaran agama. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai ikatan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami dan istri.

Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ihwal perkawinan, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan tidak hanya sebatas perkawinan tetapi lebih dari itu yakni “perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

“Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974 pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU tersebut menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah.

Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo, negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaannya karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan,” jelas Wahiduddin.

Menurut MK, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved