Toleransi Dalam Keberagaman di Balik Tradisi Saprahan

Syafarudin Usman menilai kegiatan saprahan ditingkat SMP ini perlu terus dilakukan dan terus menerus dievaluasi dalam melestarikan budaya

Penulis: Syahroni | Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/SYAHRONI
Sejarawan Kalbar, Syafarudin Usman 

Maknanya bagi melayu terkait air serbat atau disebut  minuman penutup dikatakannya kalau sudah keluar air serbat  berarti selesailah rangkaian acara.

Ia sedikit menceritakan kalau  bersaprah ini sudah ada sejak jaman kerajaan di terdahulu,  dimana tradisi ini untuk memuliakan tamu sehingga diajak berseprah duduk dibawah.

Bahkan artinya mengundang tamu siapapun  tidak memandang kelas, tidak memandang derajat, jadi sama duduk dibawah. 

Itu cara makannya pun sama, dalam arti kata menikmati hidangan itu tanpa membeda-bedakan apakah dia orang kerajaan atau bukan orang kerajaan semuanya itu menggambarkan toleransi dalam keberagaman.

"Tadi saya udah sarankan mereka yang praktek masaknya, jadi jangan lagi gurunya mereka yang praktek langsung masak bagaimana menata masakan itu, bagaimana menyajikan bumbu, menyajikan rempah kemudian mengolah dari bahannya mentah sampai bahannya jadi siap saji," jelasnya.

Hal ini juga bertujuan bagaimana mengajari anak sekolah dimulai dari usia dini bahwa setiap gender setiap anak perempuan mengerti dapur.

"Jadi bukan hanya mereka akan jadi wanita karir lalu mereka ndak ngerti masalah dapur. Dari awal lah kita ajarkan tata busana tata boga," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved