Toleransi Dalam Keberagaman di Balik Tradisi Saprahan
Syafarudin Usman menilai kegiatan saprahan ditingkat SMP ini perlu terus dilakukan dan terus menerus dievaluasi dalam melestarikan budaya
Penulis: Syahroni | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Syahroni
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Pengamat sejarah Kalbar sekaligus juri dalam festival saprahan tingkat SMP se Kota Pontianak, Syafarudin Usman menilai kegiatan saprahan ditingkat SMP ini perlu terus dilakukan dan terus menerus dievaluasi dalam melestarikan budaya
"Kedepannya perlu di evaluasi, perlu ditingkatkan lagi dalam rangka melestarikan nilai-nilai budaya tradisional lokal karena budaya tradisional sudah banyak yang boleh dikatakan terpinggirkan oleh budaya modern. Apalagi saprahan ini kan sekarang sudah masuk dalam kategori cagar budaya non benda yang perlu diawetkan dan dilestarikan," ucapnya Selasa (26/9/2017).
Ia menjelaskan nilai yang terkandung didalam tradisi makan bersaprah menggambarkan tentang rasa persatuan dan kesatuan tanpa ada pembedaan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.
(Baca: Terlibat Jaringan Narkoba, 2 Napi Lapas Pontianak Akan di Pindahkan )
Disampaikan juga bukan berarti makan berseprah itu dominan milik masyarakat melayu, tetapi merupakan kebudayaan dari rumpun melayu yang sudah mengglobal contohnya sekarang makan lesehan, itu modifikasi dari seprahan.
"Kalau bisa tradisi seperti ini juga dijadikan sebagai satu tradisi kuliner yang masuk dilingkungan hotel berbintang, kemudian di rumah-rumah makan, ke resto-resto yang ada di Kota Pontianak," ucapnya.
Ia pun membeberkan alasan mengapa ini perlu dikembangkan, karena kebudayaan ini menurutnya bersifatnya statis.
Kebudayaan itu mengalami perubahan-perubahan.
(Baca: Jaga Eksistensi Budaya, Tradisi Saprahan Masuk Mata Pelajaran Mulok )
Oleh sebab itu lah pentingnya budaya ini di lestarikan dan yang terakhir budaya bersaprah ini menggambarkan satu nilai kemajemukan yang dikemas dari aneka jenis masakan.
"Ada yang manis, asam, sampai ke yang sifatnya gurih. Semua itu mengandung makna filosofis bahwa masyarakat kita yan komunal ini berawal dari keberagaman. Mulai dari cita rasa, tata busana, tata boga dan lain sebagainya," cerita Syafarudin Usman.
Spesifiknya makanan berseprah itu dari dulu sampai sekarang ini tetap sama dan hanya itu saja.
Diungkapkannya kalau tidak ada perubahan.
"Misalnya semur, opor, sambal segala macam. Mengapa itu ada, karena menggambarkan kemajemukan kita. Opor itu kan melambangkan lemak manis, artinya jerih payah dalam hidup kita. Kemudian sambal itu kenikmatan. Kemudian air serbat, nah ini tradisi minum air serbat ini selain higienisjuga memiliki kualitas vitamin non kolesterol. Dari segi manfaat, segi higienis, segi kesehatannya, menu saprahan ini sudah setara dengan menu sehat secara umum,"jelasnya panjang lebar.