LPM Untan Gelar Diskusi Bahas Kebebasan Pers dan Perlindungan Ekosistem

Apalagi tahun kemarin banjir besar di sekitar Ambawang atau Kubu Raya bisa tiga sampai empat kali setahun

Penulis: Peggy Dania | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ Peggy Dania
DIALOG MIMBAR UNTAN - Suasana diskusi yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Untan bertajuk Ruang Dialog Mimbar Untan: Satu Perjuangan, Kebebasan Pers dan Perlindungan Ekosistem di Ruangan Teater 2 Gedung Konferensi Untan, Sabtu 1 November 2025. 
Ringkasan Berita:
  • Diskusi ini digelar agar pembahasan bisa dilakukan secara berimbang tanpa menyudutkan satu pihak.
  • Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari WALHI Kalbar, LinkAr Borneo, AJI Pontianak, dan akademisi Universitas Tanjungpura. 
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Tanjungpura menggelar pameran dan diskusi bertajuk Ruang Dialog Mimbar Untan: Satu Perjuangan, Kebebasan Pers dan Perlindungan Ekosistem di Ruangan Teater 2 Gedung Konferensi Untan, Sabtu 1 November 2025. 
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari WALHI Kalbar, LinkAr Borneo, AJI Pontianak, dan akademisi Universitas Tanjungpura. 
Ketua Umum LPM Untan, Judirho, mengatakan, diskusi ini digelar agar pembahasan bisa dilakukan secara berimbang tanpa menyudutkan satu pihak.
“Kita mengundang beberapa dari NGO, terus akademisi dan juga mahasiswa supaya diskusi bisa berimbang, bisa dilakukan secara tidak menyudutkan satu pihak,” ujarnya.
Ia menyebut dalam diskusi sempat muncul pembahasan mengenai PT Duta Palma dan PT Mayawana Persada yang menyoroti dampak aktivitas perusahaan tersebut terhadap lingkungan.
 “Mereka menjelaskan tentang dampaknya, mungkin dari sisi positifnya atau negatifnya, mengenai ekologis-ekologis yang ada di Kalbar” katanya.
Ia mengatakan, alasan mengambil tema tersebut berangkat dari perhatian terhadap banyaknya kasus perampasan hutan adat oleh pihak tertentu yang sering diberitakan media.
 “Akhir-akhir ini dari setiap media sering memberitakan mengenai keberadaan hutan-hutan adat yang sering dirampas oleh para oligarki. Kayak di Bengkayang, Sambas, akhir-akhir ini di Ketapang lagi ada isu besar mengenai adanya perampasan tanah adat,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kondisi jurnalis yang sering dibungkam ketika mencoba mengangkat persoalan seperti itu.
 “Dari pihak media atau jurnalis sering dibungkam atau diabaikan, bahkan dibisukan. Jadi mereka jarang bisa mendapatkan data-data yang konkrit untuk membahas apa yang terjadi. Jadi kita berangkat dari ini aja, biar kita memberikan pandangan ke teman-teman media, jurnalis, mahasiswa, maupun dari umum gitu mengenai ini,” ungkapnya. 
Lebih lanjut, Judirho menyinggung kondisi ekosistem di Kalbar, khususnya soal banjir yang kerap terjadi di daerah Ambawang. 
“Saya tinggal di Ambawang, setiap akhir tahun pasti banjir, itu juga bisa dilihat dari adanya dampak dari penebangan hutan. Apalagi tahun kemarin banjir besar di sekitar Ambawang atau Kubu Raya bisa tiga sampai empat kali setahun,” katanya.
Ia menilai munculnya banyak perusahaan besar dan oligarki yang berkuasa membuat dampaknya justru dirasakan masyarakat.

BEM Hukum Untan Gelar Dialog Publik Reformasi Polri: Antara Cita-Cita dan Kenyataan

“Yang menjadi korban adalah masyarakat kita sendiri atau masyarakat yang tinggal di situ. Akhirnya mereka kesusahan dan pemerintah pun acapkala nunggu viral baru bisa bergerak,” ucapnya. 
Judirho berharap lewat diskusi ini masyarakat bisa melihat persoalan tersebut dari berbagai sudut pandang.
“Harapannya masyarakat bisa melihat di pemberitaan itu. Nah dalam diskusi yang ada beberapa narsum yang berimbang, itu bisa membuka sudut pandangnya yang berbeda-beda supaya tidak ada yang menyudutkan dan menjelekkan dan hal lainnya,” pungkasnya. 
- Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp

!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved