FORUM Internasional ke 3 IPOWU di Pontianak, Upah Layak Buruh Sawit Butuh Tindakan Nyata

Indonesia menghadapi keterbatasan serius dalam upaya perlindungan pekerja sawit di tengah meningkatnya permintaan pasar dunia. 

Editor: Hamdan Darsani
TRIBUNPONTIANAK
DIALOG MULTIPIHAK - Suasana kegiatan dialog Mulitpihak pada rangkaian kegiatan Pertemuan Internasional Ke-3 IPOWU atau International Palm Oil Workers United yang digelar di Hotel Golden Tulip Pontianak pada Jumat 12 September 2025. 

Jumlah tersebut belum mencakup pekerja yang tidak tercatat secara resmi, seperti Buruh Harian Lepas (BHL) atau Buruh Harian Borongan (BHB), yang mayoritas justru adalah pekerja perempuan.

Terungkap Modus Operandi 56 Tersangka Penambangan Emas Tanpa Izin di Kalbar

Yublina Oematan menginginkan ingin hak-hak buruh terpenuhi, antara lain hak berserikat, berpendapat, cuti melahirkan, cuti haid, dan status pekerjaan tetap. Mayoritas pekerja di perkebunan sawit adalah perempuan yang rentan terhadap bahan kimia, mengerjakan penyemprotan, dan pengutipan brondol. 

"Bahkan belasan tahun mereka kerja masih menyandang status BHL, sehingga tidak dapat upah sebagai pekerja tetap. Nilai upahnya bahkan tidak sama dengan pekerja lelaki. Bahayanya pekerjaan mereka sudah jelas, mereka yang bekerja sebagai penyemprot bahan kimia, bisa dengan mudah terkena sakit kanker, kemandulan, iritasi. Ketika melakukan kerja penyemprotan, bisa terkena racun.” katanya

Pernyataan Yublina mencerminkan kenyataan lapangan yang masih jauh dari prinsip kerja layak. Status BHL dan BHB bukan hanya memiskinkan pekerja, tetapi juga menutup akses terhadap perlindungan sosial yang seharusnya menjadi hak dasar buruh sawit. 

Aldes Dwi Pikal, GAPKI Cabang Kalimantan Barat menambahkan, “Status pekerja BHL dan BHB dipengaruhi oleh adanya kebutuhan target produksi, dan regulasi yang memungkinkan.”

Regulasi seperti UU Cipta Kerja dan aturan turunannya tidak bisa menjadi pembenaran untuk mengabaikan hak-hak pekerja. 

Justru, regulasi yang ada harus ditinjau ulang agar sesuai dengan prinsip perlindungan pekerja dan keadilan bagi buruh perempuan.

“Salah satu bentuk kerja layak adalah bagaimana terbebasnya buruh sawit dari ancaman paparan racun,"

"Sebagian besar buruh sawit adalah perempuan dan mereka secara langsung bersentuhan dengan bahan kimia, baik di bagian pemupukan, penyemprotan, bahkan termasuk bekerja di industri sawit bagian penyemaian,” tutur Ismet Inoni, Koordinator KBS, pada saat acara berlangsung. 

Menurut Dr. Naura Zainar Aufaira, seorang praktisi K3 memberikan tanggapan, “Perempuan lebih rentan terhadap bahan kimia, di mana perempuan hamil muda bisa mengalami abortus, kecacatan janin hingga kemandulan. 

Ada beberapa bahan kimia berdampak sangat berbahaya. 

Ada juga yang saya sayangkan banyak perusahaan tidak punya dokter di perkebunan. Para dokter sebaiknya turun ke lapangan memberikan edukasi dan nasihat. Memberikan rekomendasi kepada tim agrokimia.”

Selanjutnya Ahmad Syukri, Direktur LinkAR Borneo menambahkan “Luasnya konsesi perkebunan sawit skala besar di Kalimantan Barat telah memberikan keuntungan yang luar biasa bagi perusahaan, pemerintah dan sebagian petani sawit. 

Namun kondisi tersebut, tidak dialami buruh perkebunan sawit. Terdapat banyak masalah, dari upah yang rendah, target kerja dan beban kerja yang tinggi, ketidakpastian kerja akibat eksisnya status kerja buruh harian lepas (BHL), kondisi kerja yang tidak ramah K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) salah satunya akibat paparan bahan agrokimia. 

"Permasalahan ini harus menjadi fokus bersama yang harus diselesaikan pemerintah, pengusaha sawit dan serikat buruh untuk mencapai transisi sawit yang adil dan berkelanjutan.”  

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved