Tim Kuasa Hukum Sumastro Bacakan Eksepsi, Tegaskan Kebijakan Sekda Singkawang Bersifat Administratif

Kebijakan dilakukan dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, bukan untuk kepentingan pribadi.

Penulis: Widad Ardina | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Istimewa
KASUS KORUPSI - Sidang perkara dugaan penyalahgunaan kewenangan yang menjerat Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Singkawang, Sumastro, kembali digelar di Pengadilan Negeri Pontianak, pada Kamis 23 Oktober 2025. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Sidang perkara dugaan penyalahgunaan kewenangan yang menjerat Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Singkawang, Sumastro, kembali digelar di Pengadilan Negeri Pontianak, pada Kamis 23 Oktober 2025.

Dalam sidang tersebut, tim penasihat hukum terdakwa dari Phoenix Law Office dan AAPR & Rekan membacakan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pontianak.

Kuasa hukum terdakwa, Dimas Fachrul Alamsyah, menyampaikan seluruh kebijakan yang diambil oleh kliennya merupakan tindakan administratif dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris Daerah, bukan tindakan yang bertujuan memperkaya diri sendiri maupun pihak lain.

“Segala keputusan yang diambil Pak Sumastro dilakukan dalam rangka menjalankan tugas jabatan, sesuai mekanisme dan prosedur pemerintahan. Keputusan tersebut juga masih terbuka untuk dikoreksi oleh aparat pengawasan internal, seperti Inspektorat Daerah maupun APIP,” jelas Dimas.

Baca juga: Progres Pembangunan Jalan Lingkar Barat Singkawang Tahap 1 Siap Masuk Tahap Pelaksanaan

Dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, tim penasihat hukum menguraikan beberapa poin penting, antara lain:

1. Dakwaan dinilai prematur, karena perbuatan yang dituduhkan merupakan tindakan administratif yang belum dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

2. Dakwaan tidak jelas dan tidak cermat (obscuur libel) karena tidak menjelaskan secara rinci kewenangan apa yang dilanggar, prosedur hukum apa yang diabaikan, serta metode perhitungan kerugian negara.

3. Tindakan terdakwa merupakan bentuk diskresi pejabat pemerintahan, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

4. Kebijakan dilakukan dalam konteks pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, bukan untuk kepentingan pribadi.

5. Peraturan yang diduga dilanggar bersifat administratif, bukan pidana.

6. Kerugian negara bersifat potensial, bukan riil, karena yang terjadi adalah pengurangan retribusi, bukan pengeluaran kas negara.

7. Tidak ada bukti keuntungan pribadi atau niat jahat (mens rea) yang dilakukan oleh terdakwa.

Dalam eksepsinya, tim hukum juga menegaskan dugaan kerugian negara sebesar Rp3,142 miliar sebagaimana disebut dalam dakwaan tidak dapat dianggap sebagai kerugian nyata.

“Kerugian negara harus bersifat nyata dan pasti, bukan sekadar potensi kehilangan penerimaan akibat keputusan manajerial yang sah,” papar Dimas.

Melalui eksepsi tersebut, penasihat hukum terdakwa memohon agar majelis hakim menerima dan mengabulkan eksepsi secara keseluruhan, serta menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum karena perkara ini merupakan ranah hukum administrasi pemerintahan, bukan pidana korupsi.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved