Berita Viral

TOK! Alasan MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Resmi Dipisah, Potensi hingga Dampak Politik

Berikut alasan Mahkamah Konstitusi (MK) resmu memutuskan untuk memisahkan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.

Editor: Rizky Zulham
Tribunnews/Warta Kota
MAHKAMAN KONSTITUSI - Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. Berikut alasan Mahkamah Konstitusi (MK) resmu memutuskan untuk memisahkan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029. 

Putusan MK belum menyentuh akar masalah elektoral

Kendati demikian, Sardini menilai bahwa keputusan ini belum menjawab persoalan mendasar dalam sistem pemilu Indonesia.

Ia menyayangkan bahwa problem akut seperti praktik politik uang, dinasti politik, dan korupsi elektoral belum disentuh dalam putusan tersebut.

“Putusan MK ini belum menyentuh akar penyakit pemilu kita, seperti politik uang dan dominasi oligarki yang merusak integritas demokrasi,” tegasnya.

Sardini berharap, pembentukan undang-undang yang lebih progresif dibutuhkan untuk mengatur hal-hal krusial seperti keterlibatan aparat penegak hukum dalam pemilu, serta penguatan sistem check and balance pada antara lembaga negara.

“Kita butuh undang-undang yang bisa memperkuat kemurnian suara rakyat dan melindungi pemilu dari intimidasi serta politisasi bansos,” tutupnya.

Momentum Revisi UU Pemilu

Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan pilkada harus dimaknai sebagai dorongan kuat untuk segera merevisi Undang-Undang Pemilu.

Meski putusan MK bersifat mengikat secara hukum, tindak lanjut berupa revisi regulasi belum juga tampak konkret.

“Sudah banyak desakan dari berbagai pihak agar Undang-Undang Pemilu dibahas ulang, tapi sampai sekarang belum terlihat langkah nyata,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah, Minggu (29/6/2025).

Menurutnya, akumulasi putusan-putusan MK yang berkaitan dengan sistem pemilu, serta wacana perubahan sistem pemilu seharusnya bisa menjadi titik awal bagi pemerintah untuk mengambil peran lebih aktif, bahkan jika perlu memimpin langsung proses revisi undang-undang.

"Jadi kalau saya sih merasa bahwa ini sudah saatnya pemerintah mengambil peran yang signifikan atau bahkan kalau perlu mengambil alih bagaimana pembahasan Undang-Undang Pemilu ini agar segera dilakukan," ucapnya.

Sistem pemilu tak saklek, harus disesuaikan kebutuhan

Lebih lanjut, Aditya mengingatkan bahwa tidak ada sistem pemilu yang sepenuhnya baku dan tak bisa diubah.  Baik sistem serentak maupun terpisah, semuanya memiliki konsekuensi masing-masing.  Karena itu, ia menyarankan agar evaluasi dilakukan secara menyeluruh dan terbuka.

“Pemerintah, partai politik, hingga penyelenggara pemilu sebetulnya sudah memahami konsekuensi dari tiap pilihan sistem,” ungkapnya.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved