Harga BBM Naik, Pengamat Ekonomi Kalbar Beberkan Sebab dan Langkah yang Harus Dilakukan

Prof Dr. Eddy Suratman menyampaikan haruslah dilakukan pemerintah, walaupun diakuinya akan ada dampaknya terkait kenaikan BBM ini.

Penulis: Ferryanto | Editor: Hamdan Darsani
TRIBUNPONTIANAK/Ferryanto
FGD Penyesuaian BBM di hotel Mercure Pontianak bersama Forkopimda, Mahasiswa dan Tokoh masyarakat Kalbar, Selasa 6 September 2022. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Sejak 3 September 2022 Pemerintah Republik Indonesia resmi menaikan harga Bahan Bakar Minyak.

Pemerintah mengklaim kenaikan harga BBM harus dilakukan karena Subsidi BBM sudah membengkak dan membebani APBN.

Terkait kenaikan harga BBM Tersebut, Pengamat Ekonomi Kalbar, Prof Dr. Eddy Suratman menyampaikan haruslah dilakukan pemerintah, walaupun diakuinya akan ada dampaknya terkait kenaikan BBM ini.

Ia menjelaskan, kemampuan keuangan negara Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini mengalami kesulitan. Berdasarkan data , pada tahun 2020 menunjukkan keuangan negara defisit sekitar 947 triliun.

Masyarakat di Pontianak Mengaku Pasrah Atas Kebijakan Naiknya Harga Bahan Bakar Minyak

"Kekurangan uang untuk membelanjai kehidupan negara itu 947 triliun atau setara dengan defisitnya 6,13 persen, tahun 2021 Defisit APBN turun tapi masih sekitar 840-an triliun atau setara dengan 5,7 persen," ujarnya.

"Tahun 2022 ini diperkirakan defisit kita masih sekitar 4,51 persen atau setara 760-an triliun rupiah," terangnya saat menjadi narasumber pada FGD Penyesuaian BBM di hotel Mercure Pontianak bersama Forkopimda, Mahasiswa dan Tokoh masyarakat Kalbar, Selasa 6 September 2022.

"Tiga tahun belakangan Defisit Anggaran Indonesia telah lebih dari 3 persen, padahal Undang - undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara sebetulnya membatasi maksimum defisit APBN itu 3 persen kita sudah melampaui dalam 3 tahun berturut-turut,"jelasnya.

Tahun depan Pemerintah Indonesia harusnya  kembali di bawah 3 persen sesuai dengan undang-undang, dan hal tersebut  sudah menjadi target pemerintah dalam konteks konsolidasi fiskal APBN akan menjadi defisit tahun depan 2,97 persen.

Untuk mencapai angka defisit dibawah 3 persen, ia mengatakan tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain menaikan pajak atau memangkas subsidi BBM.

"Menaikan pendapatan pertama dengan menaikan pajak, Kalau menaikkan pajak, masyarakat marah," ujarnya.

Kalau itu tidak bisa pilihan kedua untuk menaikkan pendapatan membiayai pembangunan adalah tambah utang, kalau tambah utang rakyat Malang digoreng terus secara politik, pemerintah tahunnya hanya pandai berhutang, rakyat marah.

"Kalau dari sisi pendapatan tak bisa kita naikkan, pilihan kedua kita lakukan turunkan belanja, kurangi belajar infrastruktur, kurangi belanja kesehatan tetapi kita perkuat, kalau kurangi belanja pendidikan makin kuat mahasiswa demo, sebetulnya yang paling ideal terjadi adalah efisienkan proses pembangunan ini, sebenarnya dituntut oleh mahasiswa juga kurangi bagian-bagian yang masuk area korupsi yang sebetulnya itu membebani belanja negara, tetapi itupun sulit, dan pemerintah sampai pada belanja subsidi yang dikurangi," paparnya.

Ia menilai, Subsidi BBM selama ini tidaklah tepat sasaran hal tersebut berdasarkan simulasi yang pernah dilakukannya saat dirinya masih aktif sebagai anggota tim asistensi menteri keuangan, pihaknya sudah pernah mensimulasikan subsidi BBM.

Dari subsidi yang diberikan pemerintah melalui Subsidi BBM, dikatakannya hanya sekitar 15 persen, yang dinikmati oleh penduduk dengan pendapatan 25 persen terbawah, sementara 77 persen subsidi BBM itu dinikmati oleh penduduk dengan pendapatan 25 persen tertinggi.

"Ini kan sebetulnya tidak tepat sasaran, kalau misalnya di APBN 2022 ada 52,4 triliun rupiah subsidi BBM plus kompensasinya, maka 77 persen dari situ akan terjadi kemungkinan dinikmati oleh orang yang sebetulnya tidak berhak," katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved