OPINI Dies Natalis 74 HMI, Sudah Waktunya Membuat Peradaban
Sebagaimana cita-cita pendirinya sejak awal, bahwa HMI yang lahir pada tanggal 05 Februari 1947 memikul dua beban suci. Pertama, mempertahankan kemerd
Oleh : Gus Hefni Maulana
Ketua Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Pontianak
Jika diibaratkan dengan umur manusia. Maka, umur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) telah menginjak umur yang sudah senja. Kerentanan dalam pelbagai aspek barangkali akan terus menghambat pola perjuangan yang terus diemban.
Mulai dari sisi ideologis yang sudah mulai lupa ingatan, kesehatan dinamika yang terjadi di dalam, hingga persoalan pudarnya jati diri dan usaha mencapai tujuan.
Sebagaimana cita-cita pendirinya sejak awal, bahwa HMI yang lahir pada tanggal 05 Februari 1947 memikul dua beban suci. Pertama, mempertahankan kemerdekaan dan mempertinggi derajat bangsa Indonesia. Kedua, Mengembangkan dan menyebarluaskan ajaran Islam.
Dua beban suci di atas termaktub rapi dalam tubuh HMI seperti yang dikenal dengan komitmen Keislaman dan kebangsaan.
Namun, dari kedua komitmen tersebut terjadi ketimpangan yang cukup signifikan khususnya dalam ranah keislaman. Ketidakseimbangan antara nilai-nilai Keislaman dan Kebangsaan membuat HMI seolah kehilangan khittah perjuangannya.
Sehingga dinamika yang tidak sehat akibat pola pikir pragmatis membuat para kader HMI cenderung mengejar kekuasaan semu. Wajar jika intrik politik sangat kuat dari tingkat Pengurus Besar hingga Cabang. Bahkan dualisme di tubuh HMI belum benar-benar selesai hingga detik ini!. Jika dirunut lebih jauh, problem ini diakibatkan hilangnya peran para kader HMI dalam mengamalkan Islam sebagai Ideologi.
Transformasi Perjuangan.
Di tengah hiruk pikuk dinamika perpolitikan yang sudah semakin tidak bermoral. HMI tidak hanya dituntut untuk peka dan terus menjaga nalar independensinya demi menjaga keutuhan bangsa. Akan tetapi juga mesti berputar beberapa derajat melihat kaum-kaum menengah ke bawah yang menjadi korban dinamika perpolitikan tersebut. Jika biasanya hanya sebatas menyuarakan dan berusaha menengahi perselisihan.
HMI dewasa ini sudah bukan waktunya terjerumus dan ikut berenang dalam sistem itu. Maka, gaung dari HMI ke depan harusnya bukan lagi tentang membuat perubahan melainkan peradaban.
Bicara peradaban berarti bicara tentang seluruh aspek kehidupan manusia baik fisik (misalnya bangunan, jalan), maupun non-fisik (nilai-nilai, tatanan, seni budaya maupun iptek), yang teridentifikasi melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif.
Dari ratusan cabang dan puluhan badko yang tersebar di seantero Indonesia. Mereka rata-rata memiliki bangunan pribadi sebagai simbol rumah perjuangan. Bahkan tidak sedikit yang dilengkapi dengan berdirinya masjid.
Hal inilah yang sebetulnya menjadi modal awal untuk memulai langkah menciptakan peradaban. HMI harusnya meneladani bagaimana pola Nabi Muhammad SAW dalam memulai membangun peradaban Islam.
Nabi memulai semuanya dari masjid sebagai pusat dari lahirnya peradaban dimaksud. Selain itu, beliau menjadikan masjid sebagai pusat kaderisasi, pendidikan, dan lain sebagainya.