OPINI Dies Natalis 74 HMI, Sudah Waktunya Membuat Peradaban
Sebagaimana cita-cita pendirinya sejak awal, bahwa HMI yang lahir pada tanggal 05 Februari 1947 memikul dua beban suci. Pertama, mempertahankan kemerd
Sejauh ini beberapa cabang telah memiliki masjid sekaligus sekretariat permanen. Hanya saja pengoptimalan fungsinya yang masih belum terwujud. Akhirnya, masjid dijadikan sebagai tempat ibadah saja.
Padahal seharusnya masjid sebagai tempat lahan kaderisasi, membangun ekonomi, bahkan melahirkan Pesantren. Sangat menarik bukan jika HMI memiliki semacam Pesantren atau Lembaga Pendidikan lain sebagai lading amal dari para kader hingga alumni.
Lihat saja bagaimana masjid-masjid yang ada di Pesantren. Masjid itulah yang pertama kali terbangun sebelum kemudian melahirkan pendidikan pesantren.
Oleh karena itu, pola HMI mesti juga mengarah pada pengoptimalan masjid. Artinya memoles masjid sedemikian rupa agar tidak hanya dijadikan tempat ibadah, namun lainnya. Jika demikian itu terjadi, dakwah dan Islam Madzhab HMI akan sedikit demi sedikit merasuk dalam sendi kehidupan masyarakat.
Mengokohkan Keislaman.
Sebagaimana tertuang dalam anggaran dasar HMI pasal 3 tentang azas, bahwa “HMI berazaskan Islam”. Maksudnya adalah implementasi nilai-nilai Islam sebagai sumber tata nilai, sumber inspirasi, dan sumber dari segala perjuangan HMI sebagaimana cita-cita awal didirikannya.
Ajaran Islam menjadi patokan HMI dalam melakukan amal-amal sosial demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.
HMI memposisikan Islam sebagai sumber energi perubahan mengaruskan para penganutnya untuk melakukan inovasi, internalisasi, eksternalisasi maupun obvektivitas. Yang paling fundamental peningkatan gradasi umat diukur dari kualitas keimanan yang datang dari kesadaran paling dalam, bukan dari pengaruh eksternal.
Perubahan bagi HMI merupakan suatu keharusan, dengan makin meningkatnya keyakinan akan Islam sebagai landasan teologis dalam berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, sehingga pemilihan Islam sebagai asas merupakan pilihan sadar, dan bukan implikasi dari sebuah dinamika kebangsaan.
Maka dengan demikian, mengokohkan komitmen Keislaman bukan hanya sekadar menjalankan kewajiban saja, namun bagaimana menjadikan Islam sebagai doktrin yang mengarah kepada perubahan untuk peradaban secara integralistik, transedental, humanitas, dan inklusif. Karena di atas perubahan adalah peradaban dan puncak dari peradaban adalah baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur.
Refleksi 74 Tahun HMI
Melihat kondisi umat dan bangsa detik ini. Refleksi 74 tahun HMI perlu merumuskan target dan tujuan yang jelas melihat perubahan sosial yang begitu cepat. Target tersebut bermuara terwujudnya masyarakat adil makmur sebagaimana poin ke-lima dari lima kualitas insan cita HMI di pasal 4 AD HMI.
Untuk mewujudkan itu perlu adanya kekokohan dan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi atau kebangsaan dan keislaman. Perubahan bukan lagi target utama melainkan peradaban.
Membangun peradaban itu dimulai dari masjid yang kemudian nantinya akan melahirkan manfaat yang luar biasa. Seperti Baitul Maal, pasar, pendidikan, pesantren, dan lain sebagainya.
Peradaban sebagaimana dimaksud secara langsung akan menjaga sumber mata air perkaderan, terlebih saat ini telah digagasnya oleh KAHMI Universitas Insan Cita.