Apa Dampak SFH Ketika Pandemi Usai? Berikut Ulasan Pegiat Pendidikan Kalbar

Satu dampak yang dihasilkan dari penutupan sekolah secara sementara ini adalah meningkatnya angka putus sekolah,

Penulis: Anggita Putri | Editor: Jamadin
TRIBUN PONTIANAK/ ISTIMEWA
Pegiat Pendidikan Kalbar, Indra Dwi Prasetyo .  

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK -Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menerapkan kebijakan Study From Home (SFH) bagi siswa-siswi sekolah pada berbagai level di Indonesia sejak April 2020.

Kebijakan ini diambil atas respon cepat pemerintah dalam memutus mata rantai  COVID-19 yang tengah terjadi.

Pegiat Pendidikan Kalbar, Indra Dwi Prasetyo mengatakan bahwa aktivitas SFH tidak semerta-merta dipandang mulus.

Berbagai kritik telah disampaikan ke Pemerintah atas belangsungnya SFH di sekolah.

“Mulai dari kendala operasional seperti penggunaan internet dan gawai untuk belajar, hingga problematika pedagogik seperti kesiapan para guru dalam mengajar secara daring.  Kendati demikian, regulasi SFH terus dijalankan, setidaknya hingga akhir tahun 2020,” tegas Indra Dwi Prasetyo. 

Baca juga: Tak Ada Lagi Zona Hijau di Kalbar, Sutarmidji Setop Tatap Muka Siswa SMA dan SMK

Tulisan ini tidak untuk melihat proses SHF yang tengah berjalan, namun untuk mengajak semua berpikir apa resiko yang mungkin terjadi akibat aktivitas SFH ketika pandemi berakhir? 

Penutupan sementara sekolah tidak hanya terjadi selama pandemi Covid-19 berlangsung saja. 

Sejarah mencatat, penutupan sekolah juga sudah terjadi ketika terjadi krisis pangan, bencana alam seperti banjir, angin topan dan gempa bumi hingga krisis finansial.

“Satu dampak yang dihasilkan dari penutupan sekolah secara sementara ini adalah meningkatnya angka putus sekolah,” ucapnya.

Lembaga amal Save the Children misalnya meramalkan akan ada 10 juta siswa sekolah yang tidak dapat kembali lagi ke sekolahnya bahkan ketika pandemi ini berakhir.

Jika berkaca pada sejarah, hal ini bukannya tidak mungkin terjadi. Pada peristiwa epidemi polio tahun 1916 yang lalu, siswa pada usia rata-rata 13 tahun di Amerika tidak dapat kembali ke sekolahnya bahkan ketika epidemi polio tersebut usai.  

Hal serupa juga terjadi di Indonesia ketika krisis ekonomi pada tahun 1998 bergulir. Data dari World Bank berjudul Education in Indonesia: From Crisis to recovery didapati bahwa krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada saat itu berakibat pada meningkatnya angka putus sekolah siswa-siswi Indonesia.

“Meningkatnya angka putus sekolah bukan satu-satunya masalah yang dapat ditimbulkan dari penutupan sekolah sementara, turunnya kualitas pembelajaran yang dialami siswa juga dapat terjadi akibat kebijakan ini,” ujarnya. 

Ia telah membaca sejumlah penelitian yang dilakukan di Amerika misalnya, menunjukan adanya penurunan kualitas belajar siswa antara 25-30 persen ketika tidak hadir ke sekolah.

Berkaca pada fenomena di atas, tidak menutup kemungkinan dampak serupa juga bisa terjadi pada pandemi ini.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved