Rizka Suhani Berbagi Kisah Saat Mengikuti Pertukaran Pemuda ke Australia
Merasakan menjadi anak mereka dan belajar budaya serta belajar berbagai hal lainnya,
Penulis: Anggita Putri | Editor: Jamadin
Rizka Suhani Berbagi Kisah Saat Mengikuti Pertukaran Pemuda ke Australia
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK- Rizka Suhani (23), mahasiswi Prodi Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura yang sedang duduk di semester akhir, merupakan alumni program pertukaran pemuda yaitu Australia Indonesia Youth Exchange Program (AIYEP) 2018 dan baru selesai program pada bulan Januari 2019.
Warga BTN Teluk Mulus, Adisucipto, Kota Pontianak berbagi cerita selama berada di Australia.
"Kemarin saya berangkat program itu tanggal 1 Oktober dan tanggal 7 Oktober sudah tiba dikota Melbourne, Australia sampai tanggal 7 Desember. Dilanjutkan ke Riau untuk fase Indonesianya sampai bulan Januari," ujar Rizka, saat di temui di BCLC Untan, Minggu ( 24/2/2019).
Program AIYEP sendiri adalah program yang terdiri dari beberapa komponen salah satunya itu adalah tinggal sama orangtua angkat.
"Jadi kita tinggal di fase kota dan desa. Merasakan menjadi anak mereka dan belajar budaya serta belajar berbagai hal lainnya," ujar Rizka.
Baca: Camat Paloh Dukung Pemekaran Tiga Desa
Baca: Warga Sebubus Kecamatan Paloh Hearing Terkait Pemekaran Desa
Setelah itu komponen keduanya yaitu Internship, masing-masing delegasi Indonesia itu dapat pengalaman magang profesional di kantor, sekolah atau di lembaga dan ada juga di rumah sakit.
"Jadi disesuaikan dengan Background pendidikan kita masing-masing," ucap Rizka.
Rizka di Melbourne magang disekolah Primary School yaitu sekolah inklusif. Jadi disekolah tersebut terdapat anak-anak berkebutuhan khusus.
Untuk fase regionalnya yang di daerah Bendigo Rizka magang di perpustakaan terbesar yang ada di Bendigo.
Rizka mendapatkan 2 orang tua asuh di kota Melbourne dan Bendigo.
"Saat saya di Primary School berkesempatan mengajarkan Bahasa Indonesia. Jadi di Australia sudah ada beberapa SD yang belajar bahasa Indonesi dan saya bertugas menjadi guru atau teacher assistand," ujarnya.
Jika jam kosong ia akan masuk di kelas bahasa Indonesia dan menjadi asisten untuk anak berkebutuhan khusus.
Sekolahan disana kelasnya kecil kalau di sini biasanya diisi oleh 30 orang, di Australia hanya ada belasan anak dan pasti ada 1 anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas.
Mereka di sana tetap menggabungkan anak ABK dengan anak normal agar anak ABK bisa beraktivitas dan juga belajar, serta tumbuh kembangnya itu seperti anak yang normal.