Hakim PA Mempawah Kelas IB Sampaikan Khotbah Jumat Tentang Perkawinan dan Perceraian

Fahrurrozi menguraikan bahwa jika talak diserahkan menjadi kewenangan mutlak suami tanpa campur tangan pengadilan

Penulis: Dhita Mutiasari | Editor: Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ ISTIMEWA
Hakim Pengadilan Agama Mempawah Kelas IB, H. Fahrurrozi, SHI., MH., sedang menyampaikan khotbah Jumat, di Masjid Sabilul Muhtadin Kelurahan Tengah Kecamatan Mempawah Hilir, Jumat (5/10/2018). 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MEMPAWAH - Hakim Pengadilan Agama Mempawah Kelas IB, H. Fahrurrozi, SHI., MH., menyampaikan khotbah Jumat tentang perkawinan dan perceraian, di Masjid Sabilul Muhtadin Kelurahan Tengah Kecamatan Mempawah Hilir, Jumat (5/10/2018).

“Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang telah mengaruniai kesehatan kepada kita dan juga keamanan wilayah kita, sehingga pada hari ini kita sama-sama dapat melaksanakan shalat Jumat di Masjid Sabilul Muhtadin Mempawah ini, dengan tenang dan khusyuk,” ujar Fahrurrozi di bagian awal khotbahnya.

Baca: Pemkab Landak Ucapkan Selamat Hari Jadi TNI ke- 73 tahun

Baca: Kodim Mempawah Serahkan Bantuan Semen Korban Puting Beliung Menjalin

Hakim lulusan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak itu mengajak jamaah untuk mendoakan saudara-saudaranya sebangsa setanah air yang sedang ditimpa bencana alam berupa tsunami dan gempa bumi, agar diberikan kesabaran dan ketabahan, diringankan penderitaannya dan diberi ganti yang lebih baik oleh Allah, sehingga mereka dapat kembali melaksanakan aktivitas seperti biasa.

Hakim Pengadilan Agama Mempawah Kelas IB, H. Fahrurrozi, SHI., MH., sedang menyampaikan khotbah Jumat, di Masjid Sabilul Muhtadin Kelurahan Tengah Kecamatan Mempawah Hilir, Jumat (5/10/2018).
Hakim Pengadilan Agama Mempawah Kelas IB, H. Fahrurrozi, SHI., MH., sedang menyampaikan khotbah Jumat, di Masjid Sabilul Muhtadin Kelurahan Tengah Kecamatan Mempawah Hilir, Jumat (5/10/2018). (TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ ISTIMEWA)

“Dengan kondisi tempat tinggal yang damai dan nyaman ini marilah kita maksimalkan penghambaan kita kepada Allah dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah, dengan melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya,” lanjutnya.

Dijelaskannya, bahwa di antara perintah Allah yang disebutkan dalam Alquran dan hadits Nabi adalah perintah untuk menikah atau membina rumah tangga. Islam memerintahkan untuk menikah, namun Islam juga tidak menutup mata bahwa tidak semua manusia berhasil dalam membina rumah tangga, karena itu Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian.

Dengan demikian, perkawinan dan perceraian adalah bagian dari syariat Islam. Umat Islam diperintahkan untuk menikah, namun juga dibolehkan untuk bercerai bila pernikahannya gagal.

“Islam bukan agama yang anti-perceraian, sebaliknya Islam mensyariatkan perceraian bagi pasangan suami istri yang tidak menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya, yang kebersamaannya selalu diwarnai perselisihan dan pertengkaran tiada henti, atau rumah tangganya tidak rukun, tidak harmonis,” tegasnya.

Di Indonesia, sambung Fahrurrozi, syariat perkawinan dan perceraian telah diterjemahkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan”.

“Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Jadi, orang-orang yang mengaku telah menikah tetapi tidak dapat menunjukkan akta nikah, maka dianggap tidak menikah, atau bukan suami istri,” paparnya.

Fahrurrozi menambahkan pendapat Syaikh Yusuf Qaradhawi yang mengatakan bahwa jika muncul perintah atau peraturan dari pimpinan negara yang mewajibkan pencatatan perkawinan maka menaatinya itu wajib hukumnya menurut syara’.

Sebab Allah berfirman yang artinya, Hai orang-orang beriman, taatilah kepada Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri.

“Suami istri yang perkawinannya tidak tercatat akan menemui banyak kesulitan. Karena tidak punya akta nikah, maka anak-anaknya tidak dapat diakui sebagai anak-anak ayah ibunya. Di akta kelahiran ditulis anak ibunya saja. Di Kartu Keluarga, suami istri itu tidak ditulis sebagai suami istri, melainkan famili lain. Dan di KTP, mereka ditulis tidak kawin. Tidak adanya akta nikah, sulit bagi istri menuntut harta bersama ketika terjadi perceraian. Juga sulit menuntut harta warisan jika suaminya meninggal dunia. Dari sini jelaslah bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa dicatat di KUA akan mendatangkan kemudharatan atau kesulitan. Padahal menurut kaidah fiqih, kesulitan harus dihindarkan,” tandasnya.

Mengenai perceraian, Fahrurrozi menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Menurut ketentuan ini, jika ada perceraian dilakukan di luar pengadilan maka hukumnya tidak sah. Bila seorang suami berkali-kali mengatakan talak kepada istrinya, dan itu diucapkan di rumah atau di jalan, maka di depan hukum tidak ada artinya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved