Aphelion Tak Terkait Suhu Dingin di Indonesia, Meski Jarak Bumi Lebih Jauh dari Matahari
Banyak tersiar kabar, beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan suhu yang sangat drastis karena fenomena aphelion.
Suhu terendah tercatat di Frans Sales Lega (NTT) dengan 12.0 derajat Celsius pada Rabu (4/7/2018).
Sementara itu untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir tidak begitu besar.
Penegasan serupa juga disampaikan astronom dengan Marshall Space Flight Center NASA di Huntsville, Alabama dalam Space.com.
"Pola cuaca musiman dibentuk terutama oleh kemiringan 23,5 derajat dari sumbu putaran planet kita, bukan oleh eksentrisitas ringan orbit Bumi," kata George Lebo, astronom dengan Marshall Space Flight Center NASA di Huntsville, Alabama.
"Selama musim panas utara, Kutub Utara miring ke arah matahari. Hari-hari panjang, dan matahari bersinar lebih dekat ke bawah - itulah yang membuat Juli begitu hangat," kata Lebo.
Tetapi ini tidak berarti bahwa jarak Bumi yang lebih jauh dari matahari tidak memiliki efek yang nyata, Roy Spencer, dari Pusat Hidrologi dan Iklim Global di Huntsville, Alabama, mengatakan dalam pernyataan yang sama.
"Rata-rata di seluruh dunia, sinar matahari yang jatuh di Bumi pada bulan Juli (aphelion) memang sekitar 7 persen lebih rendah daripada di bulan Januari (perihelion)," kata Spencer.
Anehnya, ini tidak berarti bahwa Bumi lebih dingin ketika lebih jauh dari matahari.
"Suhu rata-rata Bumi di aphelion adalah sekitar 4 derajat Fahrenheit (2,3 derajat Celsius) lebih tinggi daripada di perihelion," kata Spencer.
Ini mungkin tampak berlawanan dengan intuisi, tetapi alasannya berkaitan dengan distribusi tanah dan air di planet kita.
"Suhu bumi rata-rata di seluruh dunia sedikit lebih tinggi pada bulan Juli, karena matahari bersinar di semua tanah itu" di Belahan Bumi Utara, "yang memanas lebih mudah," kata Spencer.