Kerjasama Dengan 3 BPD, PT SMF Kucurkan Pembiayaan Sektor Perumahan Rp 338 Miliar
Rinciannya, Bank Sumut mendapat kucuran Rp 156 miliar, BPD Bali Rp 32 miliar dan Bank Sumsel Babel Rp 150 miliar.
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Jamadin
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MAKASSAR - PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF melakukan penandatangan penjanjian kerjasama refinancing Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan 3 Bank Pembangunan Daerah (BPD) di The Rinra Hotel Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (21/11/2017).
Ketiga BPD itu yakni BPD Bali, Bank Sumatera Utara (Sumut) dan Bank Sumatera Selatan Bangka Belitung (Sumsel Babel). Dalam tiga kerjasama, SMF mengalirkan pembiayaan ke sektor perumahan senilai Rp 338 miliar.
Rinciannya, Bank Sumut mendapat kucuran Rp 156 miliar, BPD Bali Rp 32 miliar dan Bank Sumsel Babel Rp 150 miliar.
Kerjasama ini merupakan bagian dari rangkaian acara Gathering BPD yang diselenggarakan oleh SMF bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) dan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).
Kegiatan dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian PUPR, Koordinator Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Wilayah Barat OJK Sukamto, Ekonom Winang Budoyo, Sekretaris Jenderal Asbanda Edie Rizliyanto, Jajaran Direksi dan pejabat Bank Pembangunan Daerah Seluruh Indonesia, serta puluhan jurnalis asal wilayah Tengah dan Timur Provinsi se-Indonesia.
Direktur Utama SMF, Ananta Wiyogo menerangkan kerjasama ini merupakan komitmen SMF dalam mendukung Program Satu Juta Rumah. Penyaluran pinjaman untuk perluasan jangkauan pembiayaan rumah di seluruh Indonesia.
“SMF telah menunjukkan langkah sigapnya merespon meningkatnya demand akan kebutuhan rumah yang layak huni, serta dukungannya terhadap Program Satu Juta Rumah yang memerlukan dana besar,” ungkapnya.
Peran BPD sangat sentral guna meningkatkan perekonomian daerah yang secara simultan akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Ananta mengakui untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memiliki rumah diperlukan fasilitas KPR yang terjangkau dan mudah diakses.
“Keterjangkauan dan akses yang mudah juga menjadi upaya mensukseskan Program Sejuta Rumah di Indonesia,” terangnya.
Tingginya kebutuhan akan perumahan merupakan pangsa pasar besar bagi BPD. Khususnya dalam memfasilitasi masyarakat yang membutuhkan hunian layak. Terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
BPD diharapkan dapat optimalkan potensi pembiayaan di wilayah kerja masing-masing. SMF akan terus memberi dukungan melalui program peningkatan kapasitas penyaluran KPR guna mendorong BPD yang belum menjalankan bisnis KPR dan atau masih tergolong rendah dalam menyalurkan KPR.
“Kami optimis adanya sinergi kuat diantara kita akan mempermudah pencapaian target Program Sejuta Rumah Pemerintah dan memberi kontribusi luar biasa bagi perekonomian Indonesia,” harapnya.
Ananta memaparkan SMF merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didirikan pada tahun 2005 di bawah Kementerian Keuangan. SMF mengemban tugas membangun dan mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan.
SMF memilki kontribusi penting dalam menyediakan dana menengah panjang bagi pembiayaan perumahan melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan.
“Melalui Program Pembiayaan SMF, kami berharap dapat meningkatkan volume penerbitan KPR, terutama untuk MBR,” timpalnya.
Melalui kegiatan sekuritisasi dan pembiayaan, sejak awal berdiri sampai 31 Oktober 2017, SMF telah mengalirkan dana dari pasar modal ke penyalur KPR secara kumulatif mencapai Rp 32,67 triliun.
“Rp 32,67 triliun terdiri dari sekuritisasi sebesar Rp 8,15 triliun dan penyaluran pinjaman sebesar Rp24,51 triliun. SMF telah melaksanakan 11 kali sekuritisasi dengan nilai Rp 8,15 triliun dan penerbitan surat utang sebanyak 29 kali dengan total Rp 19,22 triliun,” pungkasnya.
Ekonom, Winang Budoyo mengatakan sektor perumahan di Indonesia memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Hal ini dicapai dengan perhatian dan dukungan pemerintah Indonesia yang tinggi, pembangunan infrastruktur masif di seluruh Indonesia, serta bonus demografi yang mendorong pertumbuhan nasabah kelas menengah dan affluent.
Winang menambahkan backlog perumahan di Indonesia mencapai 11,38 juta unit. Dari backlog kepemilikan atau kelompok backlog keterhunian plus KK yang tinggal mengontrak atau menyewa itu, 6,09 juta unit merupakan backlog keterhunian.
Backlog keterhunian merupakan jumlah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal menumpang dengan orang tua, kerabat dan lain-lain. Sementara itu, jumlah pengembang di Indonesia masih berkisar 4.700.
Otomatis antara permintaan dan penawaran tidak sebanding sehingga masih diperlukan entrepreneur baru untuk menggarap sektor perumahan.
(Baca: Bangga Meriahkan Property Icon 2017, Ini Perumahan Yang Ditawarkan Gapura Deli Property )
“Pengembangan sektor properti akan mendorong perekonomian nasional. Saat ini kontibusi sektor properti terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru sekitar 2,8 persen. Ke depan, PDB berpotensi meningkat dengan adanya bonus demografi,” paparnya.
Saat ini, bank masih jadi sumber pembiayaan perumahan bagi perusahaan pengembang (developer) dan masyarakat konsumen. Dalam lima tahun terakhir, tingkat pertumbuhan majemuk (CAGR) KPR mencapai 10,08 persen dengan posisi kredit per Triwulan III-2016 sebesar Rp 342 triliun.
Berdasarkan Desil Kelompok penghasilan, jumlah KK yang belum memiliki rumah (backlog keterhunian) dibedakan dalam segmen bank MBR informal (Desil 1,2,3,4), MBR formal (Desil 5,6,7,8) dan komersial (Desil 9,10).
(Baca: Polisi Amankan Tersangka Penjual Alat Bantu Seks, Ini Orangnya )
“Jika diprosentasekan dari total backlog keterhunian 6,09 juta unit, MBR Informal berjumlah 3,66 juta KK atau 60 persen, MBR Formal berjumlah 2,01 juta KK atau 33 persen dan Komersial berjumlah 0,43 juta KK atau 7 persen,” jelasnya.
Winang mengakui ada beberapa faktor baik dari supply (pasokan) maupun permintaan (demand) menghambat pembangunan perumahan di Indonesia. Dari sisi pasokan beberapa hambatan seperti ketersediaan lahan dengan lokasi baik dan harga masuk plafon minim, ketersediaan infrastruktur minim dan tidak merata, belum ada landbank, bahan material bangunan alternatif yang terjangkau dan berkualitas sulit tersedia, bahan bangunan dijual pada harga komersial dan bervariasi di tiap daerah serta belum mampu memanfaatkanvolume discount.
Lalu bagi proyek perumahan, adanya gap antara kebutuhan rumah baru sekitar 800 ribu unit/tahun dengan kapasitas bagun 250 ribu-400 ribu unit/tahun, margin pengembang terbatas, biaya perizinan mahal dan birokrasi panjang, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) membebani margin perumahan MBR yang tipis.
Di sisi permintaan, hambatan itu berada pada kebijakan dan kelembagaan dimana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) belum menjangkau segmen MBR Nonformal. Peran Pemda, Badan Pertahanan Nasional (BPN), BPD dan instansi lain belum maksimal. Lalu, Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) KPR subsidi.
Pada pembiayaan, dana perbankan umumnya jangka pendek sehingga rentan maturity mismatch, mayoritas fokus pada KPR kelas menengah atas, pasar modal belum menyediakan dana jangka panjang memadai dan skim FLPP terbatas dari sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
“Di sisi masyarakat juga ada problem. Banyak masyarakat MBR dan di bawah MBR yang unbankable,” terangnya.
Di tengah berbagai problem itu, pemerintah sudah menerbitkan beberapa kebijakan stimulus di sektor perumahan sebagai dukungan. Sebut saja, relaksasi kebijakan LTV/FTV Bank Indonesia untuk menggerakan pasar kredit properti dan membantu percepatan pembangunan rumah pengembang.
Ada juga paket kebijakan ekonomi dimana 7 dari 13 paket ekonomi Jokowi-JK memuat stimulus untuk sektor perumahan seperti pembukaan kepemilikan asing, penghilangan pajak berganda investasi Real Estate, properti dan infrastruktur, kemudahan Dana Investasi Real Estate (DIRE) dan lain-lain.
“PP Nomor 14 Tahun 2016 bertujuan mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dan memberikan kepastian hukum. Kebijakan Tax Amnesty ( pengampunan pajak) juga dilakukan dengan harapan industri properti tumbuh pada 2-3 tahun ke depan, karena ada ketentuan dana hasil repatriasi boleh diinvestasikan dalam instrumen lain yang sah, satu diantaranya ya properti,” pungkasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asbanda Edie Rizliyanto menegaskan dukungan program sejuta rumah untuk rakyat. Asbanda akan mendorong transformasi BPD dalam penyaluran KPR sehingga bertambah jumlah BPD sebagai Bank Pelaksana FLPP dan meningkatkan jumlah penerbitan KPR program maupun KPR non program.
Realisasi penyaluran unit FLPP berdasarkan Bank Pelaksana sepanjang 2010-Oktober 2017, BPD mencapai 12.234 unit. Sedangkan realisasi penyaluran dana FLPP porsinya hanya sekitar 2,40 persen atau Rp 715 miliar.
“Asbanda akan meningkatkan pemanfaatan sumber dana jangka panjang oleh BPD melalui kerjasama dengan PT SMF. Asbanda akan memacu percepatan ketersediaan perumahan bagi seluruh warga di daerah melalui peran BPD. Termasuk kerjasama dengan pihak terkait lainnya,” tegasnya.
Saat ini BPD sudah punya referensi Standar Operasional Prosedur (SOP) KPR BPD (komersial dan program) yang disiapkan oleh PT SMF. Asbanda sudah sepakat gunakan SOP itu sebagai standar SOP KPR BPD.
KPR BPD menjadi potensi sekuritisasi KPR dengan mendorong multi orginator efisiensi pasar premier perumahan. Kendati demikian, Edie tidak pungkiri ada kendala yang sering dihadapi perbankan terkait KPR.
Seperti, tidak mudahnya proses konversi lahan oleh Dinas Pertanian, proses perizinan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)/ izin lain sulit dan memakan waktu lama, proses pemecahan sertifikat jangka waktu dan biaya pengurusannya belum terstandarisasi di masing-masing daerah, serta harga perolehan tanah belum terstandarisasi oleh pemerintah sehingga sulit mendapatkan lahan dengan harga yang sesuai.
Besaran pajak BPHTB juga terlalu tinggi sebesar 5 persen. Padahal, Pajak Penghasilan (PPH) yang dibayarkan developer sebesar 1 persen dari harga jual.
“Paket kebijakan Presiden tentang percepatan izin usaha terkadang tidak sejalan dengan Peraturan Daerah masing-masing daerah juga jadi kendala perbankan,” katanya.
Edi berharap peran pemerintah daerah terutama dalam penyediaan data MBR, pembinaan pengembangan di wilayah, kemudahan perizinan rumah KPR FLPP dan evaluasi berkala atas proses perizinan serta pengendalian dan pengawasan fisik bangunan, tata ruang, IMB dan lain-lain.
“Kami harap PT SMF dapat salurkan program pembiayaan sekunder terhadap bank penyalur. Peningkatan kapasitas dalam rangka sosialisasi KPR BPD di BPD yang jadi pilot project sangat kami perlukan. Karena, peran BPD relatif baru dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada perlu training khusus. Peluang BPD menggeser peran BTN dalam penyaluran KPR-FLPP sangat besar di tengah kebutuhan hunian, khususnya menengah ke bawah,” tandasnya.