Liputan Khusus
SMK Mega Wisata Tutup, Ini Penjelasan Ketua Yayasannya
Awal berdiri, lembaga pelatihan kerja tersebut cukup diminati. Namun, beberapa bulan kemudian penimatnya terus berkurang.
Penulis: Tito Ramadhani | Editor: Mirna Tribun
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK - Ketua Yayasan Mega Wisata, Iffy Mulyati menjelaskan dengan biaya operasional yang cukup besar, setidaknya sekolah harus minimal memiliki 60 hingga 70 orang siswa. "Kalau di bawah itu, sulit menjalankannya, karena biaya operasionalnya besar. Berbeda dengan sekolah negeri," tegasnya. (Baca juga: SMK Mega Wisata Tutup, 40 Siswa Cemas)
Ia pun menilai, selama ini, tujuan pendirian sekolah sudah cukup baik. Hanya, semata karena faktor kekurangan biaya, maka sekolah tidak mampu untuk membiayai pendidikan. (Baca juga: Tunggakan SPP Siswa Hingga Rp 45 Juta)
Iffy menjelaskan SMK Mega Wisata berdiri pada 2011. Saat itu, ia melihat kondisi Kabupaten Kubu Raya mulai beranjak maju. Namun, belum banyak memiliki lembaga pendidikan pelatihan dan keterampilan kerja.
Terutama yang berkonsentrasi di sektor perhotelan. Ditopang oleh gedung milik pribadi yang baru dibangun dan belum digunakan, termasuk beberapa kavling tanah di sekitarnya, membuat Iffy yakin lembaganya akan berkembang.
"Saya siapkan lengkap 15 unit mesin jahit. Kemudian saya siapkan juga 12 unit komputer, perlengkapan salon kecantikan. Bahkan sudah saya siapkan juga peralatan service handphone. Sudah saya beli itu mejanya. Selain itu, juga sudah disiapkan peralatan untuk tata boga. Semua sudah ada," papar Iffy.
Awal berdiri, lembaga pelatihan kerja tersebut cukup diminati. Namun, beberapa bulan kemudian penimatnya terus berkurang. "Dulu untuk menjahit itu ada 10 orang. Terakhir sisa 4 orang. Begitu juga salon, awalnya 8 orang, tahu-tahu tinggal 2-3 orang saja lagi," kenangnya.
Iffy menegaskan, dibukanya lembaga pelatihan tersebut agar warga yang dilatih dapat bisa segera bekerja mandiri, dengan hanya mengikuti pelatihan selama tiga bulan. "Malah orang diminta Rp 100 ribu saja tidak mau. Untuk bahan buat kue itu saja, misalnya lima jenis kue bisa menghabiskan biaya ratusan ribu," tegasnya.
Belum sampai setahun berjalan, Iffy melihat kondisinya merugi jika tetap diteruskan. Hanya kursus komputer yang mampu bertahan, karena cukup diminati warga, walau tak lebih dari 10 orang.
Pihaknya kemudian memutuskan untuk mengalihkan lembaga pelatihan tersebut menjadi SMK pada Tahun Ajaran 2013/2014. Dengan modal awal sesuai aturan pendirian sekolah sebesar Rp 50 juta.
Ia kemudian berupaya mengenalkan SMK Mega Wisata dengan menyebarkan brosur, spanduk di setiap sekolah di Kota Pontianak dan Kubu Raya. "Mungkin karena dekat dengan SMK negeri perhotelan di Kota Pontianak, orang Kubu Raya saja masih memilih sekolah di sana, sehingga menyulitkan kita mendapatkan siswa," terangnya.
Saat awal membuka pendaftaran, antusias pendaftar cukup baik. Mencapai seratusan calon siswa. Namun, setelah proses daftar ulang, hanya dapat 20 siswa. "Yang daftar itu untuk Tata Rias cuma tiga orang, tata busana dua orang, yang banyak perhotelan saja, jadi 20 siswa perhotelan saja yang diterima. Itupun banyak berasal dari daerah. Kalaupun dari sini, kebanyakan yang numpang sekolah," kenangnya.
Sebagai upaya meningkatkan peminat di SMK Mega Wisata, pihaknya mengambil kebijakan tidak membebankan biaya pembangunan gedung kepada siswa yang sekitar Rp 2 juta.
"Saya hilangkan di tahun kedua, (namun) yang daftar juga minim," ungkapnya.
Pihaknya kemudian mengadakan survei di sejumlah SMP, dan didapatkanlah hasil bahwa siswa lebih banyak tidak berminat melanjutkan pendidikannya ke SMK. Namun, lebih memilih ke SMA.
"Kepala sekolahnya Pak Suhendar. Akhirnya dengan jumlah siswa minim, kelas 1 hanya 20 siswa, kelas 2 juga 20 siswa. Akhirnya saya minta tahun ketiga tidak berlanjut," jelasnya.