Pilpres
Jika Wapres Boleh Jabat Dua Kali, Akademisi Nilai MK Langgar Konstitusi
Jangan sampai kasus ketua Mahkamah Konstitusi sebelumnya, Akil Mochtar, yang dijebloskan ke penjara seumur hidup, menimpa anggota MK sekarang
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Apabila Mahkamah Konstitusi ( MK) mengabulkan uji materi masa jabatan wakil presiden bisa dijabat lebih dari dua kali, dianggap telah melanggar konstitusi.
Penegasan itu disampaikan Saiful Mujani, Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Saiful mengatakan, MK adalah lembaga yang berwenang meninjau undang-undang dan aturan-aturan di bawah Konstitusi. Kriteria peniliannya adalah Konstitusi itu sendiri.
Karena itu MK tak berwenang menilai Konstitusi. Konstitusi secara jelas mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh dijabat maksimal dua kali. Laksanakan saja.
"Kalau MK membolehkan Presiden dan Wapres menjabat lebih dari 2 kali, maka MK melanggar Konstitusi," kata Saiful dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/7/2018).
Baca: Waspada! Seorang Pemuda Berusia 21 Tahun Dipenjara Setelah Diangkat jadi Admin WhatsApp
"Jangan sampai kasus ketua Mahkamah Konstitusi sebelumnya, Akil Mochtar, yang dijebloskan ke penjara seumur hidup, menimpa anggota MK sekarang," ujar Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini.
Saiful mengingatkan, salah satu inti reformasi adalah membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal hanya 2 kali seperti yang dituangkan dalam Undang-undang Dasar. Aturan itu tepatnya diatur dalam pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. "Mahkamah Konstitusi dan pihak-pihak yang melanggar ini adalah pengkhianat reformasi," kata Saiful.
Saiful juga membantah argumen kuasa hukum Jusuf Kalla, yang menyebut bahwa wakil presiden adalah pembantu presiden seperti menteri sehingga masa jabatannya tidak dibatasi.
"Pernyataan ini gegabah. Kalaupun ada kata-kata “dibantu” dalam UUD, wakil presiden bukan pembantu seperti menteri. Bersama presiden, wapres dipilih langsung oleh rakyat, dan tidak bisa diberhentikan oleh presiden," kata dia.
Baca: Sidang di MK Besok, Golkar Kalbar Dukung Langkah Yansen-Ason
Menurut Saiful, sifat dasar sistem presidensial adalah kepala negara dan pemerintah sekaligus dipilih oleh rakyat secara langsung untuk satu masa jabatan tertentu dan tak bisa diberhentikan di tengah jalan kecuali melanggar hukum.
Karena kepala negara dan pemerintahan sangat mutlak adanya untuk sebuah negara, maka harus berjaga-jaga kalau-kalau presiden berhalangan tetap atau tidak tetap. Karena itu, wakil presiden mutlak ada. Wakil presiden disiapkan untuk jadi presiden bila keadaan darurat terjadi. Maka wakil presiden sangat melekat pada presiden.
"Jangan dipilah-pilah dan dibedakan antara presiden dan wakil. Kalau sudah 2 kali jadi wapres itu artinya jelas 2 kali, siapapun pasangan presidennya. Kalau UUD bilang hanya boleh dua kali, ya 2 kali.
Ini sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan tafsir lain," ujarnya.
Kuasa hukum JK, Irmanputra Sidin sebelumnya menyatakan, frasa dalam Pasal 7 UUD 1945 harus diperjelas. Dia menilai frasa 'satu kali masa jabatan': itu harusnya hanya diartikan untuk jabatan presiden, bukan wakil presiden.
Oleh karena itu lah, JK melalui kuasa hukumnya mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan yang diajukan Partai Perindo. Adapun Perindo mengajukan uji materi syarat menjadi capres dan cawapres dalam pasal 169 huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurut Perindo, pasal itu bertentangan dengan pasal 7 UUD 1945.