Warga Sejumlah Desa di Kapuas Hulu Tuntut HGU PT SKM Dicabut
Diakuinya pula PT.Sentrakarya Manunggal (PT.SKM) menjelaskan Lahan yang diserahkan kepada perusahaan tetap menjadi milik masyarakat.
Penulis: Try Juliansyah | Editor: Dhita Mutiasari
Laporan Wartawan Tribunpontianak , Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KAPUASHULU - Masyarakat di beberapa desa di Kapuas Hulu, menuntut pecabutan HGU PT. Sentra Karya Manunggal.
Hal ini diungkapkan Direktur Linkar Borneo, Agus Sutomo dimana menurutnya tidak ada pelepasan lahan skema jual beli di masyarakat empat desa, Desa Bajau Andai, Desa Tintin Seligi, Desa Tingting Peninjau, Desa Kumang Jaya di Kecamatan Ngepanang dan Kecamatan Badau Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
"Proses adat “Simpaq Beliung” yaitu pelepasan dalam bentuk Pinjam Pakai, lahan yang diserahkan ke perusahaan berstatus “Lahan Pribadi” diwariskan secara turun temurun dan penggantian yang diberikan oleh pihak Perusahaan adalah penggantian “Tanam Tumbuh” yang ada dilahan tersebut. Dan ini bukan penggatian ganti rugi yang kemudian diartikan oleh pihak perusahaan bahwa warga telah menjual lahan," ujarnya Kamis (30/11/2017).
(Baca: Tumpang Tindih Lahan Perkebunan dengan Kawasan Hutan Difasilitasi Peraturan Pemerintah )
(Baca: Diskusi Publik Tumpang Tindih Perkebunan Sawit dengan Kawasan Hutan di Kalbar )
Diakuinya pula PT.Sentrakarya Manunggal (PT.SKM) menjelaskan Lahan yang diserahkan kepada perusahaan tetap menjadi milik masyarakat.
Dan akan dikembalikan setelah masa kontraknya berakhir, dalam artian setelah HGU perusahaan berakhir, tanah kembali ke Masyarakat.
"Karena ketidakpahaman perusahaan terhadap regulasi dan aturan yang ada, masyarakat menerima keputusan sepihak yang sudah ditetapkan perusahaan. Guna memudahkan jalannya, perusahaan sering melakukan pendekatan secara pribadi kepada tokoh adat, kepala desa, dan beberapa orang yang berpengaruh dalam masyarakat," lanjutnya.
(Baca: Jarot Nilai Perlu Keterlibatan Banyak Pihak Tangani Permasalahan Stunting )
Hal itu dilakukan menurutnya guna memudahkan masuknya perusahaan dan mengabil lahan masyarakat tanpa perlawanan. Bahkan diakuinya ada beberapa warga yang mengaku saat pelepasan ditahap pertama ada beberapa bentuk ancaman.
"Jadi saat pelepasan lahan PT.SKM sendiri atau melalui Petinggi Desa, Petinggi Adat menyatakan bahwa bagi mereka yang tidak menyerahkan lahan, kedepannya tidak dapat bekerja di PT.SKM karena sudah menolak untuk menyerahkan lahan. Perjanjian – perjanjian bawah tangan baik lisan maupun tulisan antara Perusahaan dengan Petinggi Desa dan Petinggi Adat yang kemudian terjadi sangatlah merugikan warga," ungkapnya.
Bahkan menurutnya iming-iming uang dan lain-ainnya menjadikan banyak Tuan-Tuan/Orang Kaya baru diwilayah masyarakat Adat. Perjanjian Kerjasama tersebut juga diakuinya dilakukan tanpa ada proses Musyawarah dengan Warga sehingga sebagian besar warga tidak pernah tahu atau sadar apa saja yang menjadi hasil keputusan maupun perjanjian serta tindakan yang akan diambil oleh PT.SKM atas lahan-lahan warga dengan ragam skema Penipuan Terencana.
"Hilangnya rasa Hormat dan Percaya pada Petinggi Desa-Petinggi Adat maupun instansi lain seperti Kepolisian dan TNI terbukti dari banyaknya anggapan miring terkait mereka. “Mereka sudah ditepuk bantal” ( sudah dapat bantalan uang ) sehingga berani menjual harga diri masyarakat Adat adalah ungkapan kecewa yang kemudian lazim menjadi perbincangan di masyarakat," katanya.
Tahun 2017 bulan Agustus dimana Presiden Republik Indonesia menurutnya menetapkan program pemberian izin pembuatan sertifikat tanah gratis ( prona ).