Rektor IAIN Pontianak Tersangka Korupsi, Kenapa Masih Beraktivitas Seperti Biasa?

Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Nanang Purnomo menuturkan pihak kepolisian tidak berwenang menahan Hamka Siregar,

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Ridho Panji Pradana
Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Nanang Purnomo. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Ridho Panji Pradana

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Nanang Purnomo menuturkan pihak kepolisian tidak berwenang menahan Hamka Siregar, Rektor IAIN Pontianak dalam kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) pengadaan meubeler Rusunawa IAIN Pontianak.

"Kepolisian tidak bisa menentukan ia bisa kerja atau tidak, karena tugas kepolisian melakukan penyidikan, penyelidikan sampai berkas P-21 dan dilimpahkan ke kejaksaan. Untuk boleh tidaknya ia melaksanakan tugas, kewenangan dari pemerintah, kalau dia seorang kepala dinas tergantung keputusan bupati, kalau statusnya rektor maka yang memutuskan adalah kementerian, sedangkan jika swasta adalah kepala yayasan," ungkapnya, Rabu (11/10/2017).

(Baca: Satarudin Minta Masyarakat Harus Diedukasi Terkait Saprahan )

Ia mengatakan tersangka belum berstatus terdakwa, namun jika pengadilan menyatakan tidak boleh melaksanakan tugas, maka tidak bisa lagi melaksanakan tugas.

Dijelaskannya, untuk kasus korupsi sampai akhir September, data yang masuk pada Bid Humas Polda Kalbar sekitar 45 kasus, ada yang dari Polda dan seluruh jajaran Polres.

"Untuk kasus yang tersangka Hamka Siregar, data yang kita dapatkan sudah P-21 artinya berkas itu sudah dilimpahkan pada kejaksaan dalam tahap pertama dan akan melakukan sidang," katanya.

(Baca: 8 Deretan Belanda Tak Ikut Ajang Paling Akbar Sejagat! Nomor 6 Paling Menyedihkan )

Menurutnya, Hamka Siregar membuat kerugian uang negara sekitar Rp. 522.387.000, berdasarkan hasil dari penyelidikan.

"Untuk kasus ini diatur dalam pasal 2 UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU RI nomor 31 tahun 1999 junto pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman diatas 4 tahun dan tidak lebih dari 20 tahun, denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak Rp. 1 M," tuturnya.

(Baca: Agustinus Sebut Pemeriksaan Psikologis Jadi Pertimbangan Penempatan Jabatan ASN )

Menurutnya untuk ditetapkannya atau masuk tidaknya tersangka ini bersalah atau tidak adalah pengadilan, dan Polri sudah melaksanakan tugasnya, sampai P-21.

"Untuk ketuk palu, tergantung dari pengadilan, jika proses pengadilannya tidak bertele-tele atau lain-lain," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved