Ragam Contoh

Asal-Usul dan Makna Mistis Bedhaya Ketawang, Tarian Sakral yang Absen di Jumenengan Pakubuwono XIV

Tarian yang selama ini identik dengan prosesi kenaikan takhta raja tersebut dikenal memiliki nilai mistis sekaligus filosofis yang sangat kuat

Tribun Pontianak
ADAT- Tarian sakral Bedhaya Ketawang menjadi sorotan publik setelah tidak ditampilkan dalam rangkaian upacara Jumenengan Pakubuwono XIV.  

Ringkasan Berita:
  • Keraton Kasunanan Surakarta menggelar peringatan penobatan raja, ritual tersebut hampir selalu disertai dengan penampilan Bedhaya Ketawang. 
  • Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 memecah Kesultanan Mataram menjadi dua, berbagai unsur budaya termasuk tradisi, kesenian, serta pusaka dibagi antara Yogyakarta dan Surakarta. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID- Tarian sakral Bedhaya Ketawang menjadi sorotan publik setelah tidak ditampilkan dalam rangkaian upacara Jumenengan Pakubuwono XIV. 

Tarian yang selama ini identik dengan prosesi kenaikan takhta raja tersebut dikenal memiliki nilai mistis sekaligus filosofis yang sangat kuat, sehingga kehadirannya dalam tradisi keraton kerap dianggap sebagai bagian penting yang tak terpisahkan.

Biasanya, setiap kali Keraton Kasunanan Surakarta menggelar peringatan penobatan raja, ritual tersebut hampir selalu disertai dengan penampilan Bedhaya Ketawang. 

Namun pada Jumenengan tahun ini, tarian tersebut tidak dihadirkan, sehingga publik kembali mempertanyakan asal-usul serta makna yang terkandung dalam karya budaya adiluhung tersebut.

Sejarah Tari Bedhaya Ketawang

Mengutip laporan dari TribunSolo.com, kisah lahirnya Tari Bedhaya Ketawang diperkirakan bermula pada masa pemerintahan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram yang berkuasa pada tahun 1613–1645. 

Diceritakan bahwa Sultan Agung sedang melakukan tapa atau semedi ketika tiba-tiba mendengar alunan suara merdu dari arah langit. 

Suara yang begitu indah tersebut membuatnya tertegun, hingga ia memanggil para pengawal untuk menceritakan pengalaman spiritual yang baru saja dialaminya.

Peristiwa itu kemudian menginspirasi Sultan Agung untuk menciptakan sebuah tarian khusus yang diberi nama Bedhaya Ketawang, sebuah simbol penghormatan atas suara gaib yang diyakininya berasal dari alam ketuhanan atau dunia spiritual. 

Selain versi tersebut, terdapat pula kisah lain yang menyebut bahwa tarian ini berkaitan dengan legenda pertemuan Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan, yang diyakini menjadi pasangan spiritual para raja Mataram.

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 memecah Kesultanan Mataram menjadi dua, berbagai unsur budaya termasuk tradisi, kesenian, serta pusaka dibagi antara Yogyakarta dan Surakarta. 

Dalam pembagian tersebut, Bedhaya Ketawang menjadi salah satu warisan budaya yang akhirnya melekat pada Kasunanan Surakarta.

Hingga masa kini, tarian sakral ini tetap dipertahankan sebagai bagian dari upacara penobatan maupun peringatan naik takhta raja Surakarta. 

Keindahan gerakannya, berpadu dengan nilai mistis dan filosofi yang dalam, menjadikan Bedhaya Ketawang sebagai salah satu tarian paling dihormati dalam tradisi Jawa.

Asal Usul Tradisi Calon Pengantin Dilarang Bertemu Sebelum Pernikahan

Makna Tari Bedhaya Ketawang

Tari Bedhaya Ketawang umumnya dimaknai sebagai simbol ikatan spiritual dan hubungan pernikahan antara Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul. 

Seluruh cerita tersebut dituangkan melalui rangkaian gerakan tari, sementara lirik dalam tembang pengiringnya menggambarkan ungkapan perasaan Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senapati.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved