TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Dari Dubai hingga New York, gedung-gedung pencakar langit menjulang bukan hanya sebagai karya arsitektur, tetapi juga sebagai simbol ambisi manusia. 

Ketinggian mereka bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan bukti bagaimana teknologi, budaya, dan mimpi bertemu di langit kota. 

Menurut Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH), cara mengukur dan mendefinisikan “gedung tinggi” bukan hal sederhana, ia bergantung pada konteks, proporsi, dan teknologi yang digunakan. 

Burj Khalifa di Dubai, misalnya, sejak 2010 masih memegang rekor dunia dengan tinggi 828 meter, menjadi ikon global sekaligus daya tarik wisata. 

Di sisi lain, One World Trade Center di New York berdiri bukan hanya untuk fungsi komersial, tetapi juga sebagai monumen harapan pasca tragedi 9/11. 

Dari Makkah Royal Clock Tower yang mendukung jutaan jamaah, hingga Lotte World Tower di Seoul yang menawarkan pemandangan spektakuler, setiap menara punya ceritanya sendiri. 

Lebih dari sekadar bangunan, mereka adalah “cerita vertikal” tentang keberanian manusia menantang gravitasi.

• Jejak Manusia Purba di Sulawesi, Misteri Sejuta Tahun yang Baru Terungkap

[Cek Berita dan informasi berita viral KLIK DISINI]

Apa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Gedung Tinggi?

Meski mudah dikenali, definisi “gedung tinggi” ternyata tidak sesederhana menghitung lantai. 

Menurut CTBUH, tidak ada definisi absolut. Kriteria ini bersifat subjektif dan bergantung pada beberapa faktor.

Bagaimana Tinggi Relatif Mempengaruhi Persepsi?

Di kota seperti Chicago atau Hong Kong, gedung 14 lantai mungkin terlihat biasa saja. 

Namun, di sebuah kota kecil di Eropa, bangunan dengan tinggi serupa bisa mendominasi cakrawala. 

Tinggi adalah soal perbandingan dengan lingkungan sekitar.