TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Setiap tahun, ratusan pendaki merayakan Hari Kemerdekaan RI di puncak gunung dengan penuh semangat, mengibarkan bendera Merah Putih di antara kabut dan dinginnya udara pegunungan.
Namun, Agustus 2025 menghadirkan cerita yang berbeda di sejumlah jalur pendakian di Indonesia.
Beberapa gunung seperti Semeru, Merapi, dan Gede Pangrango menutup jalurnya saat 17 Agustus karena alasan yang beragam dari aktivitas vulkanik, pemulihan ekosistem, hingga penghormatan terhadap adat istiadat lokal.
Di Gunung Semeru, misalnya, jalur pendakian ditutup untuk menghormati Hari Raya Karo, tradisi sakral masyarakat Tengger.
Sementara itu, Merapi masih ditutup akibat status siaga vulkanik, dan Gede Pangrango belum mengumumkan alasan pasti meski pendakian dihentikan.
Meski demikian, beberapa jalur tetap dibuka, seperti rute Wekas dan Suwanting di Gunung Merbabu, memberi ruang bagi pendaki untuk tetap merayakan kemerdekaan di alam bebas.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa merayakan kemerdekaan tidak harus di puncak tertinggi, tetapi juga lewat penghargaan terhadap alam dan budaya yang menjaganya.
• Perempuan Kazakstan Jadi Korban Sindikat Ibu Pengganti, Ketika Harapan Berubah Menjadi Ketakutan
[Cek Berita dan informasi berita viral KLIK DISINI]
Mengapa Jalur Pendakian Ditutup Saat 17 Agustus?
Faktor alam dan budaya: Apa yang terjadi di Gunung Semeru?
Gunung Semeru, sebagai salah satu gunung tertinggi dan paling populer di Indonesia, resmi menutup jalur pendakiannya mulai 17 hingga 26 Agustus 2025.
Penutupan ini bukan karena perayaan kemerdekaan, melainkan karena Hari Raya Karo, sebuah upacara adat yang sangat sakral bagi masyarakat Tengger di kawasan Desa Ranupani, Lumajang.
“Pendakian terakhir hanya dibuka sampai Sabtu, 16 Agustus. Semua pendaki harus sudah turun maksimal pukul 16.00 WIB pada 17 Agustus,” ujar Septi Eka Wardhani, Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS).
Semeru akan kembali membuka jalurnya pada 27 Agustus 2025, setelah kegiatan adat selesai.
Penutupan ini menjadi contoh bagaimana tradisi lokal tetap dijaga, bahkan dalam konteks kegiatan alam bebas yang semakin populer.