TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Kabut asap akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) masih menyelimuti wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Bahkan hingga saat ini di sejumlah wilayah Kalimantan Barat masih terjadi Karhutla, salah satunya yakni terjadi di Kabupaten Kubu Raya.
Dalam acara Tribun Pontianak Podcast (Triponcast) kali ini, menghadirkan dua narasumber yang akan membahas tentang Relevansi Perda Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalbar.
Diketahui Provinsi Kalimantan Barat memiliki Perda Nomor 1 dan 2 Tahun 2022 tentang Pengendalian Hutan dan atau Lahan. Satu diantara pasalnya memuat ketentuan pembukaan lahan dengan cara dibakar dengan menggunakan metode sekat bakar.
Terkait Perda ini, munculnya harapan agar Pemerintah Daerah meninjau kembali atas peraturan tentang pembukaan ladang berbasis kearifan lokal. Bahkan jika masih ada Peraturan Daerah (Perda) yang memperbolehkan hal tersebut, agar disarankan untuk dicabut.
Baca juga: Pj Gubernur Kalbar Terima Audiensi GMNI, Bahas Usulan Kaji Ulang Perda Pengendalian Karhutla
Terkait adanya Perda tersebut dijelaskan langsung oleh Kepala Biro Hukum Setda Kalbar, Abussamah yang menjelaskan bahwa Peraturan Daerah 1 dan 2 ditetapkan pada tanggal 30 Mei 2022.
"Perda nomor 1 itu di inisiasi langsung dari Pemerintah Provinsi, sedangkan Perda nomor 2 merupakan inisiasi dari DPRD Provinsi Kalimantan Barat," katanya dalam acara triponcast Selasa, 26 September 2023.
Ia juga mengatakan, ditetapkannya Perda nomor 2 dikarenakan Perda sebelumnya masih dirasa belum cukup.
"Sedangkan Perda nomor 1 itu dicetuskan untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat kita, karena mereka ini peladang menjadi kelompok yang rentan karena aktifitas mereka dalam membuka lahan," jelasnya.
Dijelaskannya lagi, pembuatan Perda ini juga diatur sedemikian rupa dalam tatacara pembukaan lahan dimana salah satunya yakni terkait dengan pengawasan.
"Mereka ini harus memastikan lokasinya sat membuka lahan agar tidak merembet dan meluas. Tentunya ini bukan tentang personilnya tapi juga peralatan," katanya.
Menanggapi hal itu, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Herman Hofi Munawar mengatakan terkait Kebakaran Hutan dan Lahan ini merupakan agenda tahunan dan sudah cukup lama terjadi.
"Sebenarnya ini yang menjadi persoalan pada perda yang pertama tadi terkait kearifan lokal Pemerintah Provinsi dan Kota ini tidak memiliki data yang jelas, berapa sih jumlah petani di wilayah itu, bayangkan saja jika 2 hektare itu dikerjakan oleh ribuan petani, jadi berapa luasannya itu. Nah ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu," jelasnya.
Herman Hofi juga mengungkapkan hutan ini sebenarnya masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa hutan ini sebagai wilayah yang sakral dan harus dilindungi.
"Jadi terkait menjaga hutan, dikampung kita sebenarnya sudah ada termasuk juga hutan itu sebagai market bagi masyarakat di kampung. Artinya mereka mau makan dan minum itu ada sumbernya di hutan, sehingga bagaimanapun juga mereka akan tetap menjaga hutan itu agar tetap lestari," tuturnya.
Dengan ini, ia juga berharap kepada kelompok-kelompok ini bisa di dorong agar dapat mempertahankan kearifan-kearifan lokal.
"Sangat disayangkan dengan adanya kelompok ini jadi tidak matching dengan konteks kita menjaga terjadinya kebakaran hutan itu. Niatnya sudah bagus bagaimana kita bisa mengantisipasi terjadinya Karhutla," jelasnya.
Namun demikian, Herman Hofi juga menegaskan terkait Perda, harusnya ada karena otonomi daerah itu sendiri dan ia menilai tidak tepat dalam kontes substansinya dan lebih tepat jika menggunakan undang-undang lingkungan hidup.
"Seperti terkait sangsi itu, jika hanya dikenakan 50 juta itu kecil sekali bagi perusahaan-perusahaan besar, jadi perusahaan akan memanfaatkan itu. Sebenarnya tidak perlu adanya Perda cukup Pergub saja agar lebih fleksibel pengaturannya," jelasnya.
"Jadi jika terjadi kebakaran kita tentukan dulu yang bersangkutan itu adalah tersangkanya harusnya begitu. Jadi, siapapun dan apapun penyebabnya ketika lahan itu terbakar maka pemilik lahan itu harus bertanggung jawab," tambahnya.
Terkait sangsi ini, dijelaskannya terdapat tiga sangsi yakni sangsi administrasi, pidana dan perdata.
"Kelemahan kita di daerah juga terkait dengan penyidik Pegawai Negri Sipil kita BPN sudah kuatir terlebih dahulu, harusnya mereka ini memiliki kekuatan yang super sebetulnya dan sama dengan penyidik-penyidik di Polri," ungkapnya.
Beberapa undang-undang juga sebenarnya mendorong agar Penyidik Pegawai Negri Sipil ini kuat dan ia menilai saat ini masih lemah.
"Kalau Penyidik Pegawai Negri Sipil ini lemah apa yang mau kita lakukan, sebenarnya kan dia punya hal untuk menyita, menentukan dan menangkap, seharusnya punya hak juga memperkuat penyidikan," jelasnya.
Berkaitan dengan lingkungan hidup ini juga dikatakannya cukup relevan dengan adanya peraturan baik itu di sungai, laut dan darat.
Ia juga berharap kedepannya agar ada regulasi baik itu yuridis dan personalia harus sejalan.
"Jadi ini harus terstruktur dan tidak bisa dikerjakan sendiri karena terdapat juga pihak-pihak yang berkaitan dengan lingkungan hidup," pungkasnya. (*)
Ikuti Terus Berita Terupdate Seputar Kalbar Hari IniĀ Di sini