Jadi Narasumber di Rakorgub se-Indonesia, Harisson Sampaikan Isu Layanan Dasar Pendidikan di Kalbar

Dari data yang ada, sebanyak 32 persen dari total angka pernikahan, merupakan pernikahan dini. Angka tersebut dinilai masih relatif tinggi.

Penulis: Anggita Putri | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Istimewa
Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Harisson menjadi salah satu narasumber pada Rapat Koordinasi (Rakorgub) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan gubernur se-Indonesia Tahun 2024 di The Ritz-Carlton, Selasa 2 April 2024. 

Dan terserak, kata dia, untuk menggambarkan jumlah populasi dis atu desa,di satu dusun, yang sebenarnya sedikit-sedikit, atau tidak banyak.

“Itu yang menyebabkan anak-anak sulit mengakses sekolah, karena mereka ini misalnya tinggal di satu desa, tidak punya SD di desa itu atau SMP sehingga mereka harus pergi ke desa atau kecamatan lain yang jaraknya cukup jauh,” ujarnya.

Harisson mencontohkan, misalnya di daerah Kabupaten Bengkayang, Kapuas Hulu, dan Kayong Utara.

Terutama di daerah kepulauan yang sangat jauh akses untuk mendapat pelayanan pendidikan, sehingga menyebabkan warga sekitar tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Belum lagi, disebutkan Harisson, juga ada permasalahan mengenai kuantitas dan kualitas tenaga pendidik di Kalbar.

Untuk jenjang SMA/SMK saja misalnya, yang menjadi kewenangan Pemprov, saat ini masih membutuhkan sekitar 5.900 guru. Sedangkan di level kabupaten/kota, masih membutuhkan guru TK, SD, dan SMP sampai sekitar 40 ribu.

“Belum lagi masalah mutu, artinya misalnya ketika kita mengangkat tenaga honorer, itu sarjana hukum atau sarjana ekonomi yang sebenarnya bukan tenaga pendidikan, itu yang menyebabkan mungkin dalam penyampaian materi relatif kurang optimal,” jelasnya.

Selanjutnya yang masih menjadi masalah, Harisson menerangkan bahwa angka perkawinan anak di Kalbar juga masih tinggi.

Dari data yang ada, sebanyak 32 persen dari total angka pernikahan, merupakan pernikahan dini. Angka tersebut dinilai masih relatif tinggi.

“Jadi kadang-kadang begitu tamat SMA bahkan ada yang tamat SMP langsung dinikahkan oleh orang tuanya. Ini menyangkut regulasi sebenarnya, kalau regulasinya ketat bahwa 19 tahun baru boleh menikah, tidak ada istilah dispensasi, mungkin anak-anak akan terus sekolah. Tetapi begitu ada peraturan 19 tahun tidak boleh menikah, tetapi kalau mau mengajukan permohonan izin, lalu diberikan izin, inikan percuma kita membuat aturannya,” paparnya.

Ditambah lagi, banyak juga anak-anak di Kalbar, karena untuk membantu ekonomi keluarga, mereka harus bekerja dan meninggalkan sekolah.

Semisal ada pelajar SM yang bekerja ke kebun sawit atau bahkan ada yang bekerja di Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

“Karena di PETI itu mereka satu minggu bisa menghasilkan tiga juta rupiah, pasti anak-anak akan tergiur untuk bekerja daripada sekolah, disamping untuk membantu orang tua, lalu mereka juga akan memegang uang,” terangnya.

Persoalan lainnya dipaparkan Harisson, ada juga penduduk yang berusia 25 tahun ke atas tapi belum menamatkan pendidikan.

Misalnya ada yang belum tamat SMA, tetapi sudah bekerja di sebuah perusahaan. Para pekerja yang belum lulus SMA ini, ketika diminta untuk mengikuti pendidikan penyetaraan, mereka banyak yang tidak mau.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved