Implementasi ISPO di Sintang Banyak Kelemahan, FKMS Beberkan Alasannya

“Walaupun diwajibkan dan ditargetkan 100 persen ISPO, namun hanya 40 perusahaan yang memegang sertifikat ISPO pada medio April 2014 dari total 1500 pe

Penulis: Agus Pujianto | Editor: Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA/Dok. FKMS
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Kabupaten Sintang, Ade Muhammad Iswadi (Tengah) saat FGD dan Workshop mplementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) di Kabupaten Sintang. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINTANG - Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Kabupaten Sintang, Ade Muhammad Iswadi mengungkapkan masih banyak kelemahan dalam implementasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) di Kabupaten Sintang. Kesimpulan itu berdasarkan analisa yang dilakukan oleh FKMS dalam FGD dan Workshop yang dilakukan beberapa waktu lalu.

Analisa Implementasi ISPO melalui Forum Group Discussion (FGD) dan workshop dilakukan sebanyak 3 selama bulan Desember 2021, dengan melibatkan mayoritas pekebun kelapa sawit, khususnya refresentatif kelompok, asosiasi atau koperasi, kolaborasi Solidaridad dan Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS).

Secara umum, kata Iswadi, pihaknya mendukung implementasi ISPO agar lebih baik demi Sintang Lestari, di mana Kelapa Sawit ditanam dan lingkungan juga harus lestari.

“Dalam implementasi ISPO di Sintang masih banyak juga kelemahannya. Kita melihat Implementasi ISPO di Indonesia, khususnya di Kabupaten Sintang, sepertinya masih menemui kendala sehingga perlu dicarikan akar permasalahannya. Kita mencoba melakukan assessment awal dengan metode SWOT, untuk melihat sejauh mana implementasi ISPO di Kabupaten Sintang dilakukan. Kita melibatkan suara mayoritas dari pelaku kelapa sawit melalui form isian yang dibuat sebagai tools untuk melakukan analisa awal,” ,” kata pria yang akrab disapa Ami belum lama ini.

Melalui metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats), kata Ami, sementara ini pihaknya melihat ada kekuatan yang menjadi modal yaitu adanya regulasi dan kebijakan, meningkatnya kesadaran petani untuk SPO, ada rencana aksi daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB) Sintang, Tim Pelaksana Daerah Sintang, dan adanya tim koordinasi pengendalian dan pengawasan pembangunan daerah (TP3D).

Petugas Lapas Sintang Gagalkan Upaya Penyelundupan Narkob Jenis Sabu dalam Botol Kecap

Ami mengungkapkan, kelemahan implementasi ISPO antara lain seperti pembiayaan sertifikasi mahal, minimnya SDM terkait ISPO, belum munculnya nilai dengan adanya ISPO (harga premium, dll) sehingga selalu dipertanyakan petani, proses mengurus ISPO membutuh waktu panjang.

“Sosialisasi belum massif ke level petani, pendataan petani dan pemetaan kebun belum banyak. Tata niaga belum berjalan baik, legalitas tanah dan kebun masih lemah, serta produktivitas masih rendah,” ungkap Ami.

Meski ada sejumlah kelemahan, Ami melihat masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan dengan adanya dukungan dari Lembaga Mitra (NGOs/CSOs) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mendorong percepatan sertifikasi ISPO.

“Tantangan yang dominan dirasakan adalah persaolan besarnya dana yang dibutuhkan dalam mengurus serfitikasi ISPO,” jelasnya.

Menurut Ami dengan terbentuknya ISPO oleh pemerintah tahun 2009 sudah ada beberapa kali perubahan peraturan karena target tidak tercapai. Saat pembentukkan pemerintah mewajibkan seluruh pemilik perkebunan wajib bersertifikat ISPO hinggatahun 2015. Dan dalam rangka eskpor produk minyak sawit mentah (CPO) jika tidak mengantongi sertifikat ISPO mulai tahun 2014.

“Walaupun diwajibkan dan ditargetkan 100 persen ISPO, namun hanya 40 perusahaan yang memegang sertifikat ISPO pada medio April 2014 dari total 1500 perusahaan,” ungkap Ami.

Dia juga mengatakan regulasi dikeluarkan beberapa kali tampak ada perbaikan, namun perlu juga ada ketegasan dalam pelaksanaannya apalagi ini pelestarian lingkungan yang tak bisa ditunda-tunda.

Sebagaimana Pemerntan 11/Permen/01.140/3/2015 pasal 2 ayat (3) menyebutkan penerapan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO) secara sukarela dilakukan terhadap usaha kebun plasma dan usaha kebun swadaya.

Kemudian Pementan Nomor 38 tahun 2020 pasal 62 ayat (1) disebutkan ketentuan mengenai sertifikasi ISPO wajib bagi pekebun mulai berlaku 5 (lima) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

“Ini berarti kita memiliki waktu sekitar 3-4 tahun untuk memberikan penyadartahuan terkait kewajiban ISPO,” kata Ami.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved