Bareskrim Polri Temukan 5 Fakta Terkait Kasus Dugaan Pemerkosaan Tiga Anak Kandung di Luwu Timur
Dalam surat tersebut, ibu dari ketiga korban melaporkan adanya dugaan tindak pidana, yaitu perbuatan cabul.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Aparat kepolisian menemukan fakta baru dalam kasus dugaan pemerkosaan tiga anak kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Fakta baru itu diperoleh tim asistensi pengawasan penyidikan (Wassidik) Bareskrim Polri saat melakukan supervisi kasus tersebut.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono mengungkap fakta-fakta tersebut sebagai berikut:
1. Pencabulan bukan pemerkosaan
Rusdi menjelaskan pada 9 Oktober 2019, penyidik menerima surat pengaduan dari ibu korban.
Dalam surat tersebut, ibu dari ketiga korban melaporkan adanya dugaan tindak pidana, yaitu perbuatan cabul.
• Polisi Lakukan Penyelidikan Terhadap Dugaan Aksi Pengeroyokan di SPBU Nusapati Sungai Pinyuh
Menurut Rusdi, hal ini sekaligus menerangkan informasi viral di media sosial dan perbincangan publik bahwa laporan awal adalah dugaan pencabulan bukan dugaan pemerkosaan anak.
"Jadi sekali lagi dalam surat pengaduan tersebut saudari (ibu korban) melaporkan diduga telah terjadi peristwia perbuatan cabul, jadi bukan perbuatan tindak pidana perkosaan ini yang perlu kita ketahui bersama," ujar Rusdi saat jumpa pers di Mabes Polri, Selasa 12 Oktober 2021.
2. Perbedaan visum
Rusdi menyatakan, setelah mendapat laporan, tim kemudian melakukan visum et repertum di dua fasilitas kesehatan yang berbeda.
Visum pertama dilakukan di Puskesmas Malili Luwu Timur pada 9 Oktober 2019 terhadap tiga korban.
Hasil visum dikeluarkan pada 15 Oktober 2019 dan ditandatangani oleh dokter Nurul.
Menurut Rusdi, hasil pemeriksaan dokter Nurul menyatakan tidak ada kelainan pada organ kelamin dan dubur korban.
Visum kedua dilakukan di RS Bhayangkara Makassar pada 24 Oktober 2019.
Hasilnya diberikan pada 15 November dan ditandatangani oleh dokter Deni Mathius, Sp.F, M.Kes yang menyatakan: pertama, tidak ada kelainan pada alat kelamim dan dubur, dan yang kedua, perlukaan pada tubuh lain tidak diketemukan.
• Cara Download Surat Vaksin di HP Melalui Aplikasi PeduliLindungi.id dan Link SMS dari 1199
Visum ketiga dilakukan oleh ibu korban untuk kepentingan pribadi.
Visum dilakukan di RS Vale Sorowako pada 31 Oktober 2019.
Fakta tersebut kemudian didalami oleh tim supervisi dan asistensi dengan melakukan wawancara terhadap dokter Imelda Sp.A di RS Vale Sorowako pada 11 Oktober 2021.
Menurut Rusdi, hasil keterangan wawancara tersebut yakni terjadi peradangan di sekitar vagina dan dubur korban.
Atas peradangan di vagina dan dubur korban, dokter kemudian memberikan obat nyeri, antibiotik dan parasetamol.
"Hasil interview juga disarankan kepada orang tua korban dan tim supervisi agar dilakukan pemeriksaan lanjutan ke dokter spesialis kandungan. Ini masukan dari dokter Imelda untuk dapat memastikan perkara tersebut," ujar Rusdi.
• Obat Penghancur Batu Ginjal di Apotik Yang Ampuh ! Cek Juga Obat Alami dari Buah dan Tanaman
3. Periksa petugas P2TP2A
Tim supervisi kemudian melakukan pemeriksan keterangan kepada Yuleha dan Firawati, petugas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Pemda Luwu Timur.
Pemeriksaan keduanya dilakukan lantaran telah melakukan asesmen dan konseling kepada ibu korban dan ketiga anaknya.
Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 8, 9 dan 15 Oktober 2019.
Hasil kesimpulan asesmen dan konseling yakni tidak ada tanda-tanda trauma pada ketiga korban terhadap ayahnya.
4. Ikut rekomendasi
Untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana perbuatan pencabulan yang dilaporkan ibu korban, tim supervisi meminta para korban untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ke dokter spesialis kandungan seperti rekomendasi dari dokter Imelda dari RS Vale Sorowako.
Pemeriksaan lanjutan terhadap ketiga korban kemudian diminta oleh ibu korban dilakukan di RS Vale Sorowako.
5. Pemeriksaan dibatalkan
Hasil kesepakatan, pemeriksaan lanjutan terhadap ketiga korban didampingi ibu korban dan kuasa hukumnya dari LBH Makassar.
Namun pada Selasa 12 Oktober 2021, kesepakatan yang dibuat dibatalkan oleh ibu korban dan pengacaranya dengan alasan takut ketiga anaknya mengalami trauma.
Sementara itu, tim kuasa hukum tiga anak yang diduga jadi korban pelecehan seksual ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, meminta Mabes Polri mengambil alih kasus tersebut.
Penyidikan langsung oleh Mabes Polri atau setidaknya supervisi bertujuan untuk memastikan tidak ada lagi kesalahan prosedur dalam penanganan kasus yang menghebohkan publik itu.
Hal itu diungkapkan dalam siaran pers Tim Kuasa Hukum Korban, Selasa 12 Oktober 2021.
“Kami meminta proses pidana kasus ini diambil alih oleh Mabes Polri atau setidaknya oleh Polda Sulawesi Selatan dengan supervisi Mabes Polri untuk memastikan tidak ada lagi kesalahan prosedur dalam prosesnya,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Muhammad Haedir.
Menurut Haedir yang mewakili tim advokasi, pembukaan kembali penyelidikan kasus tersebut dimungkinkan berdasarkan Ketentuan Perkapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Dia menyebut Mabes Polri dapat menindaklanjuti perkara pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur tersebut melalui Gelar Perkara Khusus.
“Dalam Pasal 33 ayat (1) Perkap ini disebutkan Gelar Perkara Khusus dilakukan dalam rangka merespons Pengaduan dari Pihak yang berperkara dan/atau penasehat hukumnya atau menindaklanjuti perkara yang menjadi perhatian masyarakat,” tuturnya.
Selain itu, dalam Peraturan Kapolri 6 Tahun 2019 juga disebutkan bahwa gelar perkara adalah kegiatan penyampaian penjelasan tentang proses penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik kepada peserta gelar dan dilanjutkan diskusi kelompok untuk mendapat tanggapan, masukan dan koreksi guna menghasilkan rekomendasi untuk menentukan tindak lanjut proses penyelidikan dan penyidikan.
Berdasarkan hal itu, maka tim advokasi meminta agar ada gelar perkara khusus dengan melibatkan sejumlah pihak.
Haedir menyebut, pihak yang harus diundang dalam gelar perkara adalah para ahli dan perwakilan berbagai lembaga yang peduli terhadap perlindungan perempuan dan anak.
“Hal ini guna mendapatkan masukan berbagai pihak sehingga menghasilkan rekomendasi untuk mengoreksi proses penyelidikan yang telah dilakukan sebelumnya, serta dapat ditindaklanjuti dalam proses penyelidikan/penyidikan selanjutnya,” katanya.
Kuasa Hukum menilai pihak kepolisian Luwu Timur tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus kekerasan seksual anak.
Hal itu misalnya dilakukan Polres Luwu Timur dengan beberapa kali mendatangi langsung rumah korban sehingga para tetangga, kerabat akhirnya mengetahui kasus tersebut.
Padahal, kata Haedir, identitas korban dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak benar-benar harus menjadi perhatian dan harus dilindungi oleh penegak hukum.
Tim Advokasi mengingatkan bahwa mereka menolak penghentian penyelidikan kasus karena ada dugaan kuat kesalahan prosedur oleh Polres dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur.
Karena itu, tidak semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor atau korban.
Tim juga membantah keterangan P2TP2A Luwu Timur yang secara serampangan menilai hubungan para korban dan ayahnya sebagai terduga pelaku baik-baik saja hanya karena interaksi saat dipertemukan di kantor P2TP2A Luwu Timur pada Oktober 2019.
Laporan P2TP2A menjadi salah satu dasar polisi menghentikan kasus ini.
Padahal menurut tim kuasa hukum, kesimpulan tersebut berbahaya dan menyesatkan.
Sebab, menurut pemeriksaan psikolog di Makassar terhadap para korban, tidak adanya trauma dalam pertemuan bukan berarti kekerasan seksual tidak pernah terjadi.
“Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat korban, yang umumnya tidak melakukan perbuatannya dengan cara-cara kekerasan, melainkan bujuk rayu, tipu muslihat, atau manipulasi,” paparnya.
Artikel ini sudah tayang di KompasTV dengan judul 5 Fakta yang Ditemukan Tim Supervisi Bareskrim Polri di Kasus Dugaan Pemerkosaan Anak di Luwu Timur