Seorang Suami di Pontianak Tega Pukuli Istrinya Hingga Pingsan Hanya Karena Tersinggung
Pada posisi terbaring tersangka mencekik leher korban dan selanjutnya memukuli korban dengan menggunakan tangan kosong berkali kali
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Seorang suami di Kota Pontianak tega menganiaya istrinya sendiri hingga pingsan lantaran tersinggung dengan kata-katanya, Rabu 5 Mie 2021.
Peristiwa itu berawal ketika pasangan suami istri ini terlibat ceksok persoalan rumah tangganya.
Sang suami lantas tidak terima atas perkataan yang dilontarkan sang istri dan langsung menghajar sang istri berulang kali hingga tak sadarkan diri.
Akibatnya korban alami cidera dibagian muka hingga lebam.
Kejadian ini langsung ditangani pihak kepolisian Polresta Pontianak atas laporan korban.
Kasat Reskrim Polresta Pontianak AKP Rully Robinson Polii mengatakan kronologi penganiyaan terjadi pada Rabu 5 Mei 2021 sore.
Baca juga: Tersinggung Perkataan Istri, Pria Dipontianak Hajar Istri Hingga Babak Belur dan Pingsan
Pelaku dan korban cekcok karena permasalahan rumah tangga hingga pelaku tersulut emosi mengaku khilaf lantaran sang istri melontarkan kata - kata yang menyinggung dirinya.
Pelaku AG (41) yang naik pitam langsung mendorong sang istri hingga terjatuh.
"Pada posisi terbaring tersangka mencekik leher korban dan selanjutnya memukuli korban dengan menggunakan tangan kosong berkali kali ke arah wajah korban hingga korban tak sadarkan diri, dan wajahnya babak-belur,"ungkap AKP Rully, Jumat 7 Mei 2021.
Saat ini pelaku sudah diamankan.
"Pelaku mengakui perbuatannya yang telah menganiaya sang istri lantaran tersinggung dengan ucapan sang istri saat keduanya cekcok,"kata Rully
Atas perbuatannya, AG akan dijerat dengan Pasal 44 ayat (1) dan (4) Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Penyebab Terjadinya KDRT Dalam Rumah Tangga
1. Pernikahan
Perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.
Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan.
Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.
2. Faktor Pasangan
Perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain.
Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.
Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak menganggur.
Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras.
Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.
3. Pengguna Narkoba
Perempuan dengan suami pengguna narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika.
Perempuan yang memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan pembatasan aktivitas.
Selain itu faktor suami yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.
4. Faktor ekonomi
Perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan.
Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya.
Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan.
Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.
5. Faktor Sosial Budaya
Seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir.
Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan.
(*)