Kisah Zuliah Anggraini, Mahasiswi Untan Ciptakan Listrik dari Limbah Air Asam Tambang
Melalui program Shell Livewire Energy Solutions 2021, Zuliah terpilih sebagai peserta dengan nama bisnis Lampu Alternatif
Penulis: Jovanka Mayank Candri | Editor: Jovanka Mayank Candri
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Zuliah Anggraini, mahasiswi Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura (Untan) berhasil menciptakan tenaga listrik menggunakan limbah air asam tambang.
Melalui program Shell Livewire Energy Solutions 2021, Zuliah terpilih sebagai peserta dengan nama bisnis Lampu Alternatif.
Kepada Tribun, Zuliah menjelaskan, Lampu Alternatif adalah analogi perangkat dalam bentuk visual bahwa adanya energi listrik pengganti bahan bakar fosil yang dialirkan.
Baca juga: Membanggakan. Mahasiswa Fakultas Teknik Untan Buat Mobil Listrik Hemat Energi dan Ramah Lingkungan.
Listrik ini dihasilkan dari hasil konversi limbah air asam tambang yang juga merupakan teknologi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan karena PH limbah dapat mencapai baku mutu air.
“Tentu ini menjadi peluang terbesar untuk menjadi solusi dalam mengatasi limbah air asam tambang di perusahaan tambang maupun dampak akibat Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat. Terutama yang ditinggalkan begitu saja setelah aktivitas PETI dihentikan, serta memanfaatkan limbah air asam tambang menjadi bernilai ekonomis,” kata Zuliah Anggraini kepada Tribunpontianak.co.id, Rabu 24 Maret 2021.
Baca juga: Fakultas Teknik Untan Pontianak Genjot Produksi APD Demi Penuhi Permintaan dari Luar Kalbar
Dijelaskan Zuliah, produk awal EBT ini berupa Lampu Alternatif yang di mana sumber listrik tersebut sebagai bentuk upaya dalam merealisasikan konsep smart mining dalam pengendalian limbah air asam tambang.
Zuliah berharap, pengembangan inovasi Lampu Alternatif ini mampu menjawab tantangan krisis energi listrik di sejumlah daerah di Kalimantan Barat dalam penghematan penggunaan energi listrik berbahan bakar fosil dan ketergantungan pasokan listrik dari Serawak, Malaysia.
Namun, Zuliah menyadari bahwa upaya ini perlu dana yang cukup besar agar dapat terealisasi menjadi industri skala besar dan investasi jangka panjang. Karena investasi jangka panjang bisa menjadi salah satu jaminan penting di masa depan.
“Jika melihat keadaan dan tantangan dari pengembangan EBT, seperti berkaitan dengan masalah harga peralatan, teknologi, kemudian penyediaan bahan baku pembangkit listrik (dalam hal ini limbah air asam tambang), tentu menjadi salah satu faktor pertimbangan investor untuk mengembangkan Lampu Alternatif di Kalimantan Barat,” paparnya.
Dijelaskan Zuliah Anggraini, di Indonesia sendiri biaya peralatan energi terbarukan masih tergolong mahal karena mayoritas peralatan EBT masih skala impor.
Untuk mengembangkan Lampu Alternatif ini, lanjutnya, perlu adanya panel tenaga air asam tambang.
“Kita tahu bahwa harga regulator voltage controller dengan harga kisaran Rp11 Juta tergantung teknologi dan merk. Belum kemudian ditambah dengan biaya inverter yang mencapai kisaran puluhan juta ke atas, sehingga keseluruhan pendanaan dalam pengembangan Lampu Alternatif ini dapat disimpulkan mencapai kisaran ratusan juta,” paparnya.
Selain itu, lanjut Zuliah, diperlukan juga dana untuk pengelolaan dan penyediaan bahan baku EBT Lampu Alternatif hingga perizinan dan pembebasan lahan.
Hal tersebut mempengaruhi sumber pendanaan karena pihak penyedia pendanaan tentunya memerlukan jaminan ketersediaan bahan baku, teknologi dan pengelolaan yang baik dalam mengembangkan invetasi Lampu Alternatif.
Untuk mendorong pihak-pihak penyedia pendanaan pada tahap awal, lanjutnya, diperlukan pula peran besar pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif berjangka panjang
“Dengan melihat keadaan faktor harga komponen pembangkit listrik EBT yang memiliki tingkat kandungan dalam negeri yang masih rendah dan perjuangan pengembangan dalam hal perizinan dan pembebasan lahan, hendaknya pemerintah memberikan dukungan birokrasi,” katanya.
“Serta, bantuan tambahan investasi sekitar 20%-30% dari biaya keseluruhan dalam pembangunan pembangkit listrik EBT Lampu Alternatif untuk menjaga gairah perkembangan energi listrik terbarukan di Indonesia, terutama Kalimantan Barat,” lanjutnya.
Zuliah menatakan, ia juga telah melakukan interview dengan perwakilan akademisi dan praktisi tambang. Hasilnya, pengembangan inovasi Lampu Alternatif dianggap merupakan langkah strategis dalam penanggulangan air asam tambang yang membawa manfaat bagi kemaslahatan ummat.
Dikatakan Zuliah, inovasinya ini didukung Kaprodi Teknik Pertambangan Untan Budi Purwoko ST MT.
Kaprodi, jelas Zuliah, sangat mendukung kegiatan yang ia lakukan. Terlebih biaya reklamasi untuk lokasi yang terdampak oleh air asam tambang itu sangat tinggi.
“Jika air limbah ini bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif maka akan jauh mengurangi biaya untuk mereklamasi tambang, sehingga bisa juga untuk membantu masyarakat sekitar," kata Zuliah mencontohkan perkataan Kaprodi Teknik Pertambangan Untan Budi Purwoko ST MT.
Dukungan, lanjut Zuliah, juga doberikan Edi Iskandar, selaku KTT PT Hansindo Mineral Persada.
Edi Iskandar menganggap hasil temuan Zuliah sebagai langkah kecil dari seorang mahasiswi dalam menemukan solusi masalah air asam tambang menjadi tenaga listrik alternatif.
Menurut Edi, lanjut Zuliah, temuan ini menjadi loncatan besar untuk kesejahteraan umat manusia khususnya dalam menangani masalah air asam tambang di lingkungan pertambangan.