Konflik Demokrat, Pengamat: Publik Tidak Perlu Iba Pada Kubu yang Tumbang

Kemelut internal juga meruncing di Partai Amanat Nasional (PAN) ketika pendiri PAN Amien Rais meminta pemerintah tidak mengesahkan DPP PAN hasil Kongr

TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Satu diantara Pengamat Politik Kalbar, Ireng Maulana. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Satu diantara Pengamat Politik Kalbar, Ireng Maulana, MA menilai konflik yang terjadi pada Partai Demokrat merupakan pertarungan elit dalam pusaran politik kekuasaan.

Menurutnya, kejadian ini merupakan pertarungan kedua kubu mempertahankan eksistensi pengaruh politiknya.

Masyarakat, dikatakan dia tidak akan diuntungkan, sehingga tidak perlu iba.

Berikut penuturannya.

Dari berbagai saluran informasi kita mendapati kabar telah terjadi konflik perebutan kepemimpinan di dalam partai politik (parpol) tanah air, misalkan kisruh di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara kubu Suryadharma Ali yang berseteru dengan Kubu Romahurmuziy pada 2014.

Selanjutnya pada 2015, Golongan Karya (Golkar) juga sempat terpecah menjadi dua kubu yakni Aburizal Bakrie hasil Munas Bali dan Agung Laksono hasil Munas Jakarta.

Kemelut internal juga meruncing di Partai Amanat Nasional (PAN) ketika pendiri PAN Amien Rais meminta pemerintah tidak mengesahkan DPP PAN hasil Kongres V yang memenangkan besannya sendiri, Zulkifli Hasan pada 2020.

Baca juga: Kesaksian Ketua DPC Ditawari Uang Muka Rp 30 Juta untuk Ikut KLB Partai Demokrat di Deli Serdang

Tidak berhenti sampai disitu, dinamika dualisme kepengurusan juga terjadi di Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada 2018 antara Kubu Oesman Sapta Odang (OSO) berhadapan dengan kelompok Wiranto.

Di 2020, Partai Berkarya juga menghadapi kemelut perpecahan setelah terjadi perebutan kepengurusan antara Pendiri Berkarya Tommy Soeharto versus Muchdi Pr.

Walaupun kisruh perpecahan di parpol dapat berakhir dengan komprominya masing-masing, namun satu yang pasti adalah peristiwa politik tersebut tidak memberikan kontribusi kebaikan apapun bagi hak publik karena kita tahu perebutan kepengurusan parpol bukan untuk membela kepentingan masyarakat manapun melainkan sekedar moves untuk mempercepat lahirnya akses baru kepada jalan kekuasaan.

Terlepas dari banyak perdebatan terkait adanya indikasi intervensi kekuasaan dalam peristiwa perpecahan tersebut, parpol ternyata tidak mendapatkan sokongan penting dari masyarakat dalam masa krisisnya.

Dalam banyak hal, parpol bukan bagian utuh dari dinamika masyarakat karena mereka cenderung mengekslusifkan diri.

Baca juga: Mahfud MD Angkat Bicara Terkait Polemik dan KLB Partai Demokrat di Deli Serdang

Pembiaran ini mungkin terjadi disebabkan parpol selama ini hampir sedikit sekali mengurusi permasalahan masyarakat yang sesungguhnya, dan lebih banyak mengurusi kepentinganya sendiri.

Oleh karena itu, ketika parpol mendapatkan permasalahan dari dalam tubuh mereka sendiri, tidak ada komponen masyarakat yang cukup peduli.

Pikiran kita: Kubu manapun yang berhasil berkuasa tetap berjarak kepada suasana penderitaan rakyat.

Pada awal Maret 2021 ini, kita mendapati lagi kabar tentang kisruh Demokrat yakni antara Demokrat SBY-AHY berhadapan dengan Kelompok Moeldoko hasil KLB Sumatera Utara.

Konflik di Demokrat bukan peristiwa politik luar biasa dan istimewa sebagaimana kemelut perebutan juga terjadi pada parpol-parpol lainnya sebelum ini.

Menyikapinya, komponen masyarakat harus kembali lagi seperti waktu yang lalu yaitu untuk tidak ikut mempedulikan yang sedang terjadi karena perpecahan ini murni pertarungan elite dalam pusaran politik kekuasaan.

Publik tidak punya saham yang dapat dibagi keuntungannya oleh kubu manapun yang nantinya akan memenangkan kisruh tersebut.

Baca juga: Moeldoko Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB, Berikut Pernyataan Ketua DPD Demokrat Kalbar

Oleh karena itu, tidak tepat jika muncul situasi seolah-olah adanya kekeliruan moral dalam pertarungan memperebutkan posisi diantara sesama elite parpol.

Mereka semua-kelompok politik arus utama harus bertarung sebagaimana proses mempertahankan dan memperebutkan kekuasaan harus dilakukan.

Adu kuat kedua belah pihak harus dilancarkan dengan kesiapan peralatan dan logistik politik masing-masing.

Pertarungan antara sesama elite arus utama bukan pertarungan evil vs good melainkan mereka masing-masing hanya sedang mempertahankan eksistensi pengaruh politiknya didalam kepentingan kekuasaan yang lebih luas.

Jika nantinya ada salah satu pihak yang terpaksa dan harus tumbang dalam dinamikanya, itu berarti menandakan akan lahirnya oligarki politik baru menggantikan kubu lama yang lebih lemah peralatan politiknya.

Tidak ada tempat bagi simpati publik untuk elite parpol yang roboh dalam pertarungannya.

Publik juga tidak perlu iba kepada kubu yang tumbang dari kontestasi memperebutkan eksistensi kekuasaan mereka, baik itu kepada kelompok yang sedang mempertahankan maupun bagi kelompok yang maju untuk merebutnya karena elite parpol manapun yang keluar sebagai pemenang dalam kemelut tersebut akan memiliki watak yang tidak berubah, yakni berjarak dengan kehendak batin rakyat.

Baca juga: SUSUNAN Pengurus Partai Demokrat di KLB Sibolangit Sumut dan [FULL] Video Pidato Pertama Moeldoko

Ketidakstabilan dalam tubuh kelompok politik arus utama merupakan kondisi yang biasa dan normal karena pusaran kekuasaan politik memang menggambarkan ketidakstabilan, bahkan penuh intrik dan kekacauan.

Dari suasana tidak stabil (chaos) itulah konsolidasi dan kompromi kekuasaan dibentuk, dibangun, dan ditata hingga lahirnya konsesi kepentingan yang lebih baru lagi untuk memastikan semua arus kepentingan dalam saluran yang dikehendaki.

Kemelut pada Demokrat hari ini hanya contoh lainnya tentang pertarungan kelompok elite politik arus utama mempertahankan dan memperebutkan zona nyaman kekuasaan, tidak kurang tidak lebih! (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved