Kebijakan Kemenhub Hanya Mewajibkan Rapid Test Sebagai Syarat Terbang Membahayakan Kru dan Penumpang
Sanksi yang dikeluarkan oleh Gubernur Kalbar tersebut dikatakannya bukan tanpa alasan.
Penulis: Anggita Putri | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK -Kebijakan Kementerian Perhubungan dengan hanya mewajibkan rapid test non reaktif sebagai syarat terbang dianggap membahayakan kru pesawat dan penumpang pesawat yang lain.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Harisson.
Harisson menyampaikan bahwa seharusnya Kemenhub maupun Kemenkes mendukung kebijakan Gubernur Kalbar yang memberi sanksi kepada maskapai apabila membawa penumpang dengan hasil PCR Positif.
• Gubernur Kembali Meradang, Sutarmidji: Saya tak Larang Maskapai Terbang, Saya Larang Bawa Penumpang
Dikatakannya berdasarkan Peraturan Gubernur Kalbar Nomor 110 tahun 2020 yang menjatuhkan sanksi dilarang membawa penumpang selama 10 hari bagi maskapai yang dianggap tidak mematuhi peraturan gubernur dalam hal ini membawa penumpang yang merupakan kasus konfirmasi Covid-19 harusnya didukung.
Sanksi yang dikeluarkan oleh Gubernur Kalbar tersebut dikatakannya bukan tanpa alasan.
Beberapa kasus ditemukan penumpang pesawat ternyata merupakan kasus positif Covid-19 yang diketahui setelah dilakukan pengambilan sampel swab secara acak oleh Diskes Kalbar dan yang lebih parah lagi Viral load (jumlah virus) pada penumpang yang baru datang dari luar Kalbar ternyata sangat tinggi mencapai 15 juta copies virus bahkan ada yang lebih.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan Peraturan Menteri Perhubungan dan Kemenkes terkait bolehnya penumpang memilih Rapid Test dengan hasil Non reaktif atau PCR Negatif sebagai syarat terbang sebagai kebijakan yang setengah-setengah bahkan cenderung tidak berpihak kepada pencegahan dan pengendalian penularan virus Covid-19.
“Jadi penumpang cenderung memilih syarat yang lebih mudah yakni dengan melakukan rapid test dan bila hasil nya non reaktif penumpang bisa terbang ,” ujar Harisson di Ruang Kerjanya, Selasa (22/9/2020).
• Tinjau Kesiapan Ruang Isolasi Terpadu RSUD Soedarso, Harisson: Antisipasi Lonjakan Pasien Covid-19
Padahal dikatakannya akurasi rapid test hanya berkisar 60% dan sebenarnya rapid test dengan hasil non reaktif belum tentu penumpang tersebut sedang tidak tertular virus atau membawa virus, karena rapid test non reaktif bisa saja virus sudah ada didalam tubuh tapi sitem kekebalan tubuh yaitu IgG dan IgM belum muncul sehingga tidak terdeteksi oleh Rapid Test.
“ Sehingga rapid test menjadi non reaktif padahal sudah ada virus . Kalau kita test dengan PCR orang begini hasilnya positif . Jadi rapid test non reaktif belum tentu orang itu tidak membawa virus untuk kepastiannya sebenarnya dengan test swabs PCR,” tegasnya.
Belum lagi kalau surat keterangan pemeriksaan tersebut palsu yang disediakan oleh oknum tertentu untuk penumpang yang akan bepergian dengan pesawat.
Kebijakan Kementerian Perhubungan maupun Kemenkes yang mempersyaratkan hanya dengan rapid test non reaktif saja penumpang boleh terbang sebenarnya membayahakan kru pesawat baik pilot, pramugari, mekanik, petugas darat atau siapapun yang masuk ke pesawat tersebut.
“ Belum lagi saat penerbangan penumpang yang membawa virus berada dalam satu ruangan tertutup dalam cabin pesawat dengan penumpang lainnya. Penumpang duduk berdekatan, tidak berjarak sesuai dengan syarat standar protokol kesehatan, dengan waktu tempuh Jakarta ke Pontianak sekitar 1 jam 10 menit sebenarnya membahayakan kru pesawat yang ada di dalamnya dan penumpang yang lainnya terhadap terjadinya risiko penularan,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa penumpang yang turun di bandara tujuan justru akan membahayakan semua orang yang berada di Bandara termasuk membahayakan orang orang yang berada disekitarnya setelah dia keluar dari bandara dan tinggal di tempat dia berdomisili.
“ Jadi bukan hanya penumpang menyebarkan penyakit di pesawat kepada kru dan penumpang lainnya tapi akhirnya juga menyebarkan virus di daerah tempat dia tinggal atau di tempat tujuannya . Dan juga Sebenarnya kita membiarkan terjadi penyebaran virus antar daerah ,” ujarnya.
Ia mengatakan Diskes Kalbar telah gencar melakukan pengambilan sampel swab acak terhadap penumpang yang mendarat di bandara Supadio dan dilakukan pemeriksaan PCR di Lab Untan.
Dikatakannya lagi bahwa hal yang lebih mencengangkan hasil dari pemeriksaan Lab Untan ditemukan viral load untuk penumpang dari luar Kalbar yang terdeteksi lewat PCR itu jauh lebih tinggi mencapai 15 juta copies virus dan lebih tinggi dari pada viral load pada kasus transmisi lokal di Kalbar .
“Kalau Viral load nya tinggi dia buka mulut saja virusnya sudah menyebar kemana-mana menularkan kepada orang yang berada disekitar nya, ini sangat membahayakan . Jadi kebijakan Kemenkes , maupun Kementerian perhubungan bahwa penumpang cukup dengan rapid test hasil non reakitf saja itu sebenarnya membayakan kru pesawat baik kru udara dan darat dan juga membahayakan masyarakat yang berada di tempat yang didatangi oleh penumpang,”jelas Harisson.
• Satu Penumpang Pesawat Citilink Penerbangan Jakarta Pontianak Positif Covid-19
Ia mengatakan jika ingin melakukan perjalanan seharusnya satu minggu sebelumnya penumpang sudah melakukan test swabs PCR.
“Kalau untuk di Jakarta biasanya satu hari pemeriksaan PCR besok hasilnya sudah selesai . Berbeda dengan Kalbar yang harus menunggu beberapa hari. Penumpang juga harus hati-hati setelah PCR jangan kemana-mana harus ada tanggung jawab juga dari penumpang,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa kebijakan gubernur tersebut sangat tepat untuk mendukung pengendalian penyebaran virus Covid.
Seharusnya Kemenhub mendukung kebijakan tersebut yaitu memberikan sanksi larangan terbang membawa penumpang bagi maskapai yang terbukti membawa penumpang dengan hasil PCR positif.
Dikatakannya dengan rapid test hasil non reaktif penumpang tidak terdeteksi membawa virus hanya dengan Lab PCR lah bisa memastikan bahwa dia tidak membawa virus.
“Jadi sebenarnya kebijakan Kemenhub menentang kebijakan Gubernur Kalbar adalah salah besar. Justru seharus nya kemenhub mendukung kebijakan Pak Gubernur. Bila tidak mendukung bearti sebenarnya kemenhub tidak peduli dengan keselamatan kru pesawat dan penumpang,” tegasnya.
Ia mengatakan seharusnya Kementerian Perhubungan mendukung kebijakan Gubernur.
Dan maskapai seharusnya mensyaratkan hasil lab PCR negatif sebagai syarat terbang bukan hanya dengan rapid test.
“Jadi kebijakan Kemenhub hanya dengan hasil rapid test non reaktif boleh terbang sebenarnya tidak memihak pada keselamatan kru pesawat, keselamatan penumpang dan masyarakat yang ada di bandara maupun masyarakat di sekitarnya di wilayah yang dia datangi. Apalagi kalau surat hasil pemeriksaan Rapid Test tersebut ternyata palsu,” pungkasnya.