Grand Story SEJUK-Internews: Penyintas Korona Temukan Toleransi Beragama di Rumah Sakit Sintang
Ada kepuasan, kebahagiaan yang tak terucap dari mulut tim medis saat pasien pertama korona yang dirawat dinyatakan sembuh.
Penulis: Agus Pujianto | Editor: Jamadin
Liya mengambil sikap hormat. Lengan tangannya diletakkan di dada. Perawat senior di RSUD Ade M Djoen Sintang ini sedikit menundukan kepalanya ketika penyintas korona itu berjalan di tengah barisan para tim medis.
“Bahagia sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bisa merawat pasien hingga sembuh. Pengalaman merawat beliau sampai dua bulanan dan luar biasa. Kami hanya berupaya merawat pasien seperti saudara. Tanpa membedakan siapa orangnya. Kami berkeyakinan, apa yang dilakukan dengan hati, akan sampai ke hati,” katanya.
Total 63 hari Andriyus menjalani kesendirian di ruang isolasi bertahan melawan korona jauh dari keluarga sejak 19 Maret- 18 Mei 2020 baru dinyatakan sembuh.
Kolaborasi Lintas Iman Rawat Pasien
Kesaksian penyintas korona seperti Yohanes Andriyus Wijaya yang merasa menemukan toleransi beragama selama dirawat di RSUD Ade M Djoen Sintang, tak terlepas dari kolaborasi lintas iman yang diterapkan managemen rumah sakit dalam hal memberikan pelayanan terhadap pasien.
Sejak lama, RSUD Ade M Djoen menerapkan konsep keberagaman. Setidaknya, dalam hal pengaturan schedule perawat.
“Dalam hal menyusun schedule, kami berupaya membagi porsinya adil, dari berbagai lintas agama. Tidak hanya satu agama saja untuk perawat yang menjaga dan menangani pasien,” kata Kepala Seksi Penunjang Medik pada RSUD Ade M Djoen Sintang, Yustandi.
Schedule penanganan pasien corona terbagi dalam tiga sif. Pagi, siang dan malam. Satu sif, minimal 2 orang perawat. Jika pasiennya banyak, bisa tiga orang perawat. Komposisinya, di antara dua atau tiga perawat, harus lintas agama. Bukan satu agama saja.
“Komposisinya, biasanya muslim 2 atau non muslim 2. Yang pasti di antara tiga itu beda agama. Sejak kita susun jadwal, kita buat demikian. Jadwal tugas memang sudah menjadi SOP kita. Kita tidak tahu yang kita rawat kemungkinannya seperti apa (kondisinya),” kata Yustandi.
Kombinasi perawat lintas agama tidak hanya bertugas untuk menjaga dan merawat pasien, lebih dari itu pasien juga diberikan pendampingan rohani. Seperti kesaksian yang disampaikan penyintas korona.
“Karena pasien kita kan lintas agama. Jadi kalau kita gabungkan antara muslim dan non muslim setidaknya pada saat kondisi tertentu, katakan lah pasien kritis, dia (perawat) bisa memberikan doa sesuai dengan agama yang dianut. Kalau cuma satu agama kan kita gak paham. Misalnya pasien yang harapan sembuhnya tipis, itu kan perlu diberikan pendampingan rohani. Ya sesuai agama masing-masing. Jadi kita juga memberikan pendampingan rohani dalam memberikan pelayanan,” katanya.
Kolaborasi lintas iman juga penting dalam hal pemulasaran jenazah. Oleh sebab itu, pembagian schedule lintas iman sangat membantu tidak hanya dalam hal toleransi beragama, tapi juga dalam menjalin kepercayaan dengan pasien dan keluarganya.
“Kita memang punya pembelajarannya. Di mata kuliah ada, menghadapi pasien kritis seperti apa. Makanya kita rumah sakit punya MOU dengan para rohaniawan. Apalagi misalnya pasien covid, kalau meninggal, petugas pemulasaran jenazah kan meski berbagai agama. Bagaimana mungkin yang meninggal non muslim, kan pasti yang muslim ndak ngerti, makanya digabung. Perawat juga memberikan pesan kepada pasien bahwa perawat dan dokter ini hanya perantara, bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Tuhan. Makanya kita sering mengingatkan pasien agar berdoa ketika, makan, minum obat dan lain sebagainya,” jelasnya.
Batasi Chanel Televisi
Perhatian lebih juga diberikan kepada pasien dengan Covid-19. Beberapa aktivitas yang dapat menimbulkan kecemasan, seperti tontonan televisi dibatasi oleh pihak rumah sakit.
Pihak rumah sakit bahkan menghilangkan beberapa chanel informasi khusus untuk pasien korona yang menjalani isolasi.
“Di ruangan isolasi itu ada TV. Kalau muslim, kita sarankan dengar murotal untuk menenangkan jiwa. Bahkan kita pernah menghilangan beberapa chanel, yang sifatnya membuat dia takut, seperti berita tentang jumlah kematian akibat korona. Jangan sampai informasi di televisi membuatnya takut. Membuat semangatnya lemah. Kita berupaya memberikan informasi positif, biar semangatnya bangkit dan optimis,” kata Yustandi.
Pasien korona dibutuhkan penanganan khusus. Oleh sebab itu, pihak rumah sakit juga memberikan perhatian khusus. Upaya menghilangkan chanel juga untuk kebaikan psikologi pasien.
“Penyakit corona beda dari yang lain, perlu perhatian ekstra. Chanel TV ditampilkan edukasi, dakwah. Chanel berita kita hilangkan. Sekalipun beritanya benar kalau menakutkan kan susah. Misalnya melihat berita sekian yang meninggal, itu kan was was. Bagus dia menonton yang lain,” bebernya.
Pendampingan psikologi juga diberikan oleh pihak rumah sakit terhadap pasien korona. Supaya selama menjalani isolasi, pasien tidak merasa kesepian.
“Siapa yang gak stress dikurung di kamar, ndak ada keluarga. Kita kolaborasi bersama dengan perawat lintas iman, rohaniawan, psikologi, dokter untuk memberikan motivasi. Pak Yohanes (penyintas corona) sudah terbukti, beliau dia tidak meras kesepian selama 2 bulan. Dia merasa diperhatikan,” ujarnya.
Nilai Tertinggi Agama adalah Kemanusiaan
Dian Lestari, Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Kalimantan Barat mengapresiasi toleransi beragama yang diterapkan di RSUD Ade M Djoen Sintang. Dia menilai semangat merawat keberagaman tersebut sebagai praktik baik, hendaknya diterapkan di seluruh rumah sakit dan layanan publik lainnya.
“Keberagaman agama tidak menjadi penghalang dalam memperlakukan manusia secara manusiawi. Ini menjadi bukti nyata yang semestinya menyadarkan kita, bahwa nilai tertinggi dari agama adalah kemanusiaan. Perbedaan bukanlah masalah, justru memperindah hidup. Ini pesan moral yang sering kita lupakan,” kata Dian.
Menurut Dian, pandemi Covid-19 justru mengajarkan bahwa kepedulian menjadi kunci utama bagi manusia. Tiap orang tanpa memandang agama, suku, dan beragam identitas yang dimiliki, mesti peduli agar dapat tetap bertahan hidup di tengah pandemi. Ketika kepedulian dikesampingkan, maka di banyak tempat akan terlihat bahwa penyebaran Covid-19 semakin meluas.
“Penghargaan dan kepedulian terhadap keberagaman, menjadi modal utama kekuatan bersama di tengah situasi saat ini. Supaya bisa bekerjasama untuk mencegah Covid-19, maka kepedulian terhadap keberagaman tak bisa hanya sebatas teori. Hanya masyarakat yang saling peduli, mampu bertahan dan menekan penyebaran Covid-19,” ujar Dian.
Dian mengajak seluruh masyarakat menyerap makna menghargai keberagaman. Apabila nantinya penyebaran Covid-19 sudah dapat benar-benar dikendalikan, semangat merawat keberagaman semestinya tidak ditinggalkan dan dilupakan. “Pengembangan nilai-nilai positif dari sikap pengakuan, toleransi, dan empati terhadap keberagaman, semestinya diteruskan kepada generasi mendatang, demi kehidupan yang lebih baik,” ajaknya.
Liputan ini didukung oleh hibah Story Grant dari Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK)-Inernews.