Grand Story SEJUK-Internews: Penyintas Korona Temukan Toleransi Beragama di Rumah Sakit Sintang

Ada kepuasan, kebahagiaan yang tak terucap dari mulut tim medis saat pasien pertama korona yang dirawat dinyatakan sembuh.

Penulis: Agus Pujianto | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ Agus Pujianto
LEPAS KEPUANGAN PENYINTAS KORONA: Kesembuhan dan kepulangan Yohanes Andriyus Wijaya disambut suka cita oleh para tim medis yang merawatnya. Bupati Sintang, Jarot Winarno, bersama Direktur RSUD Ade M Djoen, Rosa Trifina, hingga Kadinkes, Harysinto Linoh melepas kepulangan Direktur PDAM Tirta Pancur Aji tersebut. 

Liya menjadi saksi perjuangan Andri antara hidup dan mati melawan corona hingga sembuh dan diperbolehkan pulang. Selama dua bulan merawat, perempuan berkerudung ini tak sekalipun mendengar mulut pasien yang dirawatnya mengeluh.

 “Kami menjadi saksi detik demi detik perjuangan beliau melewati semuanya itu.  Selama perawatan, beliau pernah ada satu kalimat atau kata atau bahkan  tanda sekalipun  yang mengisyaratkan beliau itu mengeluh. Tidak pernah sama sekali. Bahkan ditengah sesak nafasnya beliau masih mengupayakan bibirnya berucap terima kasih kepada kami perawat dan nakes lain yang berjibaku merawat beliau,” ungkap Liya. 

 Andri tak menyadari bahwa dia sempat mengalami kondisi kritis saat dirawat intensif. Dia hanya merasa lemah tak berdaya.

“Saya tidak tahu kalau kritis. Tahunya dari perawat. Pada hari ketiga (setelah dirujuk dari Kabupaten Sanggau) katanya saya kritis. Perawat bilang, paru-paru saya sudah putih semua. Artinya sudah tertutup virus. Itu yang menyebabkan saya sesak. Untungnya saya tidak punya penyakit penyerta,” katanya.

 Saat mengalami fase kritis, dia melihat keikhlasan dari perawat yang memberikan perhatian, kesabaran ekstra merawatnya sampai pulih.

Dengan sabar dan telaten, para perawat menyuapinya. Membujuknya ketika nafsu makan berkurang, sampai dengan membersihkan tubuhnya.

 “Saya Katolik. Mereka merawat saya dengan sabar dan perhatian. Waktu saya kritis, saya tidak bisa bergerak. Angkat tubuh lemah. Kadang BAB, saya pakai pampers, di situ mereka tanpa segan, bantu bersihkan. Tanpa rasa jijik, mereka membantu menggantikan pampes. Itu yang saya lihat. Dokter juga baik,” ungkapnya.

Setelah pulih dari masa kritis, Andri tak lagi dirawat di ruang isolasi khusus (RIK). Dia dipindah ke Ruang Isolasi Mandiri (RIM).

RSUD Ade M DJoen Sintang dilengkapi dengan 4 ruang isolasi khusus. Ruangan ini disiapkan untuk mengantisipasi pasien korona yang mempunyai gejala berat, seperti halnya Andri. Selain itu, Pemkab Sintang juga menyiapkan 32 kamar isolasi mandiri bagi warga yang dicurigai maupun yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19, namun tanpa gejala.

Pemerintah Kabupaten Sintang juga menyiapkan tempat isolasi bagi warga yang hasil reaktif rapid test. Ada 46 bilik isolasi di komplek gedung Diklat BKPSDM. Lebih dari itu, Pemkab Sintang juga memboking satu hotel dengan kapasitas 43 kamar khusus untuk isolasi mandiri yang diawasi ketat oleh Dinas Kesehatan.

Selama menunggu hasil swab PCR keluar, warga yang reaktif rapid test menjalani isolasi ketat dibawah pengawasan Dinkes Sintang.

Apabila hasil swab keluar terkonfirmasi positif, akan dipindah ke ruang isolasi mandiri di RSUD Ade M Djoen Sintang. 

Sejak Pemkab Sintang mempunyai Mobile Combat PCR Covid-19 yang mulai beroperasi Juli 2020, sampel tak lagi dikirim ke Pontianak dan Jakarta yang menunggu hasil negatif atau positif Covid-19 sampai berminggu-minggu.

Hal itu lah yang membuat Andriyus merasa bosan menjalani isolasi dan menunggu ketidakpastian hasil swab PCR selama diisolasi.

Berkat adanya Mobile Combat PCR, tak ada lagi suspect Covid-19 yang menunggu kepastian hingga berbulan-bulan.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved