Grand Story SEJUK-Internews: Penyintas Korona Temukan Toleransi Beragama di Rumah Sakit Sintang
Ada kepuasan, kebahagiaan yang tak terucap dari mulut tim medis saat pasien pertama korona yang dirawat dinyatakan sembuh.
Penulis: Agus Pujianto | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,SINTANG - Ada sebuah kalimat sederhana, akan tetapi sangat bermakna sekaligus membekas bagi seorang penyintas korona.
Meski sudah tiga bulan berlalu sejak dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang dari ruang isolasi mandiri RSUD Ade M Djoen Sintang, kalimat itu masih diingatnya dengan jelas.
“Pak, sudah berdoa, kalau belum, kita doa dulu ya, pak,” kata Yohanes Andriyus Wijaya menirukan ucapan tenaga kesehatan yang merawatnya hingga dinyatakan sembuh dari virus korona.
Saban pagi, siang dan malam hari selama 63 hari, ayah dari dua anak ini selalu mendengar kalimat itu dari tenaga kesehatan yang merawat dan menjaganya sejak fase kritis, hingga sembuh. Sehingga, dia merasa disentuh untuk tidak melupakan Tuhan dalam kondisi apapun.
“Saya menemukan inspirasi di sini. Kita disentuh untuk tidak melupakan Tuhan. Di situlah saya merasa menemukan toleransi beragama,” kata Yohanes Andriyus Wijaya ditemui Tribun Pontianak di kantor PDAM Tirta Pancur Aji, Kabupaten Sanggau, pertengahan Agustus lalu.
• Terharu, Inilah Kisah Yohanes Andriyus Wijaya Sembuh dari Covid-19
Mantan Dewan Pengawas RSUD M.TH Djaman, Kabupaten Sanggau, Kalbar, ini merasa perlakuan toleransi beragama yang ditunjukan para perawat RSUD Ade M Djoen Kabupaten Sintang, tersebut tidak ditemukan di rumah sakit lain.
“Saya diajak doa bersama ketika pagi. Diingatkan untuk berdoa bersama. Kalau misalkan ada yang beragama Katolik, doa dibawa secara katolik. Kalau misalkan perawatnya muslim, dia menganjurkan saya berdoa dalam hati. Saya tidak pernah menemukan ini di tempat lain,” ungkap Yohanes Andriyus Wijaya.
Andri merupakan pasien korona pertama dari Kabupaten Sanggau yang ditangani oleh RSUD Ade M DJoen Sintang, satu di antara RS rujukan corona di Kalimantan Barat yang ditunjuk oleh Gugus Tugas Covid-19 Nasional—saat ini sudah berganti Satgas Penanganan Covid.
Pria berusia 55 tahun ini dirujuk ke RSUD Ade M Djoen Sintang pada 19 Maret 2020 dari Kabupaten Sanggau, dengan keluhan demam, batuk dan sesak nafas. Pria berusia 55 tahun ini, punya riwayat bepergian ke Yogyakarta dan Jakarta untuk urusan dinas.
• Malik Sebut Tiga Faktor Utama Penyebab Munculnya Klaster Baru Covid-19, Berikut Cara Mengatasinya
Beberapa hari dirawat di Ruang Isolasi Khusus (RIK) RSUD Ade M Djoen Sintang, Direktur PDAM Tirta Pancur Aji kondisinya membaik.
Bahkan, sejak tanggal 28 Maret 2020, Andri tidak lagi harus diinfus. Hasil swab PCR Andri baru keluar dan dinyatakan positif Covid-19 pada 30 Maret 2020.
Sebelum hasil swab PCR keluar dan dinyatakan positif, Andri berada di fase kritis dan dirawat intensif di ruang isolasi khusus. Saat hasil pemeriksaan swab PCR diumumkan positif Covid-19, para tim medis yang merawatnya menangis bersamaan.
“Kami perawat ruang isolasi khusus pernah 2 kali nangis disaat bersamaan di depan HP (video call) dan kediaman kami masing masing, kali pertama saat mendapat kabar bahwa hasil swab beliau dinyatakan positif. Lutut lemes. Nangis. Rasa takut ada, secara Covid-19 yang selama ini kita lihat beritanya di televisi sekarang ada di depan kita dan kita yang rawat,” kata Liya perawat yang bertugas di RIK RSUD Ade M Djoen Sintang.
Bagi Liya dan tim medis dan gugus tugas, Pandemi Korona tentu tak disangka-sangka. Sejak tahu pasien yang dirawatnya terkonfirmasi positif, Liya dan perawat serta tim medis semakin solid, benar benar saling jaga satu sama lain agar tidak terpapar.
“Kami cari tau tentang Covid-19, baca dan cari info sebanyak banyaknya, diskusi sama dokter, sama IPCN sama K3RS biar punya bekal cukup buat rawat pasien covid dan kitanya tetap selamat sampai semuanya selesai,” ungkapnya.
Liya menjadi saksi perjuangan Andri antara hidup dan mati melawan corona hingga sembuh dan diperbolehkan pulang. Selama dua bulan merawat, perempuan berkerudung ini tak sekalipun mendengar mulut pasien yang dirawatnya mengeluh.
“Kami menjadi saksi detik demi detik perjuangan beliau melewati semuanya itu. Selama perawatan, beliau pernah ada satu kalimat atau kata atau bahkan tanda sekalipun yang mengisyaratkan beliau itu mengeluh. Tidak pernah sama sekali. Bahkan ditengah sesak nafasnya beliau masih mengupayakan bibirnya berucap terima kasih kepada kami perawat dan nakes lain yang berjibaku merawat beliau,” ungkap Liya.
Andri tak menyadari bahwa dia sempat mengalami kondisi kritis saat dirawat intensif. Dia hanya merasa lemah tak berdaya.
“Saya tidak tahu kalau kritis. Tahunya dari perawat. Pada hari ketiga (setelah dirujuk dari Kabupaten Sanggau) katanya saya kritis. Perawat bilang, paru-paru saya sudah putih semua. Artinya sudah tertutup virus. Itu yang menyebabkan saya sesak. Untungnya saya tidak punya penyakit penyerta,” katanya.
Saat mengalami fase kritis, dia melihat keikhlasan dari perawat yang memberikan perhatian, kesabaran ekstra merawatnya sampai pulih.
Dengan sabar dan telaten, para perawat menyuapinya. Membujuknya ketika nafsu makan berkurang, sampai dengan membersihkan tubuhnya.
“Saya Katolik. Mereka merawat saya dengan sabar dan perhatian. Waktu saya kritis, saya tidak bisa bergerak. Angkat tubuh lemah. Kadang BAB, saya pakai pampers, di situ mereka tanpa segan, bantu bersihkan. Tanpa rasa jijik, mereka membantu menggantikan pampes. Itu yang saya lihat. Dokter juga baik,” ungkapnya.
Setelah pulih dari masa kritis, Andri tak lagi dirawat di ruang isolasi khusus (RIK). Dia dipindah ke Ruang Isolasi Mandiri (RIM).
RSUD Ade M DJoen Sintang dilengkapi dengan 4 ruang isolasi khusus. Ruangan ini disiapkan untuk mengantisipasi pasien korona yang mempunyai gejala berat, seperti halnya Andri. Selain itu, Pemkab Sintang juga menyiapkan 32 kamar isolasi mandiri bagi warga yang dicurigai maupun yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19, namun tanpa gejala.
Pemerintah Kabupaten Sintang juga menyiapkan tempat isolasi bagi warga yang hasil reaktif rapid test. Ada 46 bilik isolasi di komplek gedung Diklat BKPSDM. Lebih dari itu, Pemkab Sintang juga memboking satu hotel dengan kapasitas 43 kamar khusus untuk isolasi mandiri yang diawasi ketat oleh Dinas Kesehatan.
Selama menunggu hasil swab PCR keluar, warga yang reaktif rapid test menjalani isolasi ketat dibawah pengawasan Dinkes Sintang.
Apabila hasil swab keluar terkonfirmasi positif, akan dipindah ke ruang isolasi mandiri di RSUD Ade M Djoen Sintang.
Sejak Pemkab Sintang mempunyai Mobile Combat PCR Covid-19 yang mulai beroperasi Juli 2020, sampel tak lagi dikirim ke Pontianak dan Jakarta yang menunggu hasil negatif atau positif Covid-19 sampai berminggu-minggu.
Hal itu lah yang membuat Andriyus merasa bosan menjalani isolasi dan menunggu ketidakpastian hasil swab PCR selama diisolasi.
Berkat adanya Mobile Combat PCR, tak ada lagi suspect Covid-19 yang menunggu kepastian hingga berbulan-bulan.
Dua bulan, bukan waktu sebentar. Perasaan bosan sempat hinggap dibenak Andri. Ada keinginan kuat untuk pulang. Tapi, niat itu diurungkannya.
“Ketika saya menyadari bahwa saya minta pulang, saya putuskan saya tetap di sintang. Saya harus membuktikan rumah sakit sintang bisa menyembuhkan saya. Itu menjadi motivasi saya, kenapa saya memaksa tidak pulang, dan saya yakin (kesembuhan saya) menjadi kebanggaan bagi bupati dan perawat, dokter dan semuanya bahwa seorang positif korona bisa disembuhkan,” ujarnya.
Untuk “membunuh” kebosanan selama di isolasi di ruang isolasi mandiri, Andri menghabiskan waktunya dengan membaca buku, dan berkomunikasi dengan keluarga melalui video Call.
“Saya hobby baca. Karena saya tidak bawa buku, perawat ada sediakan buku. Kemudian ada olahraga pagi dan sore. Untuk menghilangkan kejenuhan, yang paling penting nomor satu instrospeksi. Selama isolasi, saya jadi sering meditasi,” ungkapnya.
Setelah pindah ke Ruang Isolasi Mandiri (RIM), Andri lebih banyak berinteraksi dengan para perawat dan dokter. Dia pun sering jalan-jalan dan berolah raga didampingi perawat di halaman rumah sakit.
Kebersamaan antara pasien dan perawat selama 2 bulan membuat mereka kian akrab. Andri merasa menemukan keluarga baru.
Begitu pula sebaliknya. Sama-sama saling menjaga dan mengingatkan satu sama lainnya. Bahkan, ketika nafsu makannya turun, perawat membuatkannya sambal belacan dan lalap sayuran.
Selain menemukan toleransi beragama, Andri juga merasa disentuh untuk tidak melupakan Tuhan dalam setiap perawatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
“Mereka inikan terdiri dari berbagai agama, kekompakan mereka juga saya lihat bagus. Walaupun misalnya yang ditugaskan, biasanya dua orang satu cowok atau keduanya cewek, bisa jadi salah satunya beda agama. Itu kan menunjukan bahwa toleransinya bagus juga. Walaupun ditugaskan secara bersamaan, tetapi kerjanya bagus, kompak,” ujarnya.
Para perawat ini, sering kali mengingatkan Andri untuk berdoa. Sekalipun perawat tersebut beda keyakinan dengannya.
“Di situlah, saya melihat, ini artinya pengobatan yang dilakukan oleh RSUD Ade M Djoen Sintang bukan masalah penyakit kita, tapi secara psikis juga mereka membantu kita. Artinya kita kembalikan bahwa kejadian yang menimpa kita, mungkin sesuatu yang Tuhan inginkan. Perawat itu mengajak, mengingatkan kita untuk berdoa. Agar kita bisa lebih, secara bathin akan mempercepat proses penyembuhan. Saya yakin penyembuh utama ya Tuhan melalui tangan para dokter dan perawat. Saya lihat mereka kompak. Biar pun yang satunya satunya kristen, satu muslim, bagus itu. Hati saya tersentuh,” bebernya.
Kesembuhan Andri dari virus korona sangat membahagiakan para tim medis dan gugus tugas yang selama dua bulan terakhir merawatnya.
Ada kepuasan, kebahagiaan yang tak terucap dari mulut tim medis saat pasien pertama korona yang dirawat dinyatakan sembuh.
Kepulangan penyintas korona disambut suka cita oleh para tim medis yang merawatnya, termasuk jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Sintang, turut melepas Direktur PDAM Tirta Pancur Aji tersebut.
Para perawat membuat barisan. Mereka bertepuk tangan sebagai penghormatan dan apresiasi atas perjuangannya melawan corona selama dua bulan menjalani isolasi, terpisah sekian lama dari keluarganya.
Liya mengambil sikap hormat. Lengan tangannya diletakkan di dada. Perawat senior di RSUD Ade M Djoen Sintang ini sedikit menundukan kepalanya ketika penyintas korona itu berjalan di tengah barisan para tim medis.
“Bahagia sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bisa merawat pasien hingga sembuh. Pengalaman merawat beliau sampai dua bulanan dan luar biasa. Kami hanya berupaya merawat pasien seperti saudara. Tanpa membedakan siapa orangnya. Kami berkeyakinan, apa yang dilakukan dengan hati, akan sampai ke hati,” katanya.
Total 63 hari Andriyus menjalani kesendirian di ruang isolasi bertahan melawan korona jauh dari keluarga sejak 19 Maret- 18 Mei 2020 baru dinyatakan sembuh.
Kolaborasi Lintas Iman Rawat Pasien
Kesaksian penyintas korona seperti Yohanes Andriyus Wijaya yang merasa menemukan toleransi beragama selama dirawat di RSUD Ade M Djoen Sintang, tak terlepas dari kolaborasi lintas iman yang diterapkan managemen rumah sakit dalam hal memberikan pelayanan terhadap pasien.
Sejak lama, RSUD Ade M Djoen menerapkan konsep keberagaman. Setidaknya, dalam hal pengaturan schedule perawat.
“Dalam hal menyusun schedule, kami berupaya membagi porsinya adil, dari berbagai lintas agama. Tidak hanya satu agama saja untuk perawat yang menjaga dan menangani pasien,” kata Kepala Seksi Penunjang Medik pada RSUD Ade M Djoen Sintang, Yustandi.
Schedule penanganan pasien corona terbagi dalam tiga sif. Pagi, siang dan malam. Satu sif, minimal 2 orang perawat. Jika pasiennya banyak, bisa tiga orang perawat. Komposisinya, di antara dua atau tiga perawat, harus lintas agama. Bukan satu agama saja.
“Komposisinya, biasanya muslim 2 atau non muslim 2. Yang pasti di antara tiga itu beda agama. Sejak kita susun jadwal, kita buat demikian. Jadwal tugas memang sudah menjadi SOP kita. Kita tidak tahu yang kita rawat kemungkinannya seperti apa (kondisinya),” kata Yustandi.
Kombinasi perawat lintas agama tidak hanya bertugas untuk menjaga dan merawat pasien, lebih dari itu pasien juga diberikan pendampingan rohani. Seperti kesaksian yang disampaikan penyintas korona.
“Karena pasien kita kan lintas agama. Jadi kalau kita gabungkan antara muslim dan non muslim setidaknya pada saat kondisi tertentu, katakan lah pasien kritis, dia (perawat) bisa memberikan doa sesuai dengan agama yang dianut. Kalau cuma satu agama kan kita gak paham. Misalnya pasien yang harapan sembuhnya tipis, itu kan perlu diberikan pendampingan rohani. Ya sesuai agama masing-masing. Jadi kita juga memberikan pendampingan rohani dalam memberikan pelayanan,” katanya.
Kolaborasi lintas iman juga penting dalam hal pemulasaran jenazah. Oleh sebab itu, pembagian schedule lintas iman sangat membantu tidak hanya dalam hal toleransi beragama, tapi juga dalam menjalin kepercayaan dengan pasien dan keluarganya.
“Kita memang punya pembelajarannya. Di mata kuliah ada, menghadapi pasien kritis seperti apa. Makanya kita rumah sakit punya MOU dengan para rohaniawan. Apalagi misalnya pasien covid, kalau meninggal, petugas pemulasaran jenazah kan meski berbagai agama. Bagaimana mungkin yang meninggal non muslim, kan pasti yang muslim ndak ngerti, makanya digabung. Perawat juga memberikan pesan kepada pasien bahwa perawat dan dokter ini hanya perantara, bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Tuhan. Makanya kita sering mengingatkan pasien agar berdoa ketika, makan, minum obat dan lain sebagainya,” jelasnya.
Batasi Chanel Televisi
Perhatian lebih juga diberikan kepada pasien dengan Covid-19. Beberapa aktivitas yang dapat menimbulkan kecemasan, seperti tontonan televisi dibatasi oleh pihak rumah sakit.
Pihak rumah sakit bahkan menghilangkan beberapa chanel informasi khusus untuk pasien korona yang menjalani isolasi.
“Di ruangan isolasi itu ada TV. Kalau muslim, kita sarankan dengar murotal untuk menenangkan jiwa. Bahkan kita pernah menghilangan beberapa chanel, yang sifatnya membuat dia takut, seperti berita tentang jumlah kematian akibat korona. Jangan sampai informasi di televisi membuatnya takut. Membuat semangatnya lemah. Kita berupaya memberikan informasi positif, biar semangatnya bangkit dan optimis,” kata Yustandi.
Pasien korona dibutuhkan penanganan khusus. Oleh sebab itu, pihak rumah sakit juga memberikan perhatian khusus. Upaya menghilangkan chanel juga untuk kebaikan psikologi pasien.
“Penyakit corona beda dari yang lain, perlu perhatian ekstra. Chanel TV ditampilkan edukasi, dakwah. Chanel berita kita hilangkan. Sekalipun beritanya benar kalau menakutkan kan susah. Misalnya melihat berita sekian yang meninggal, itu kan was was. Bagus dia menonton yang lain,” bebernya.
Pendampingan psikologi juga diberikan oleh pihak rumah sakit terhadap pasien korona. Supaya selama menjalani isolasi, pasien tidak merasa kesepian.
“Siapa yang gak stress dikurung di kamar, ndak ada keluarga. Kita kolaborasi bersama dengan perawat lintas iman, rohaniawan, psikologi, dokter untuk memberikan motivasi. Pak Yohanes (penyintas corona) sudah terbukti, beliau dia tidak meras kesepian selama 2 bulan. Dia merasa diperhatikan,” ujarnya.
Nilai Tertinggi Agama adalah Kemanusiaan
Dian Lestari, Koordinator Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Kalimantan Barat mengapresiasi toleransi beragama yang diterapkan di RSUD Ade M Djoen Sintang. Dia menilai semangat merawat keberagaman tersebut sebagai praktik baik, hendaknya diterapkan di seluruh rumah sakit dan layanan publik lainnya.
“Keberagaman agama tidak menjadi penghalang dalam memperlakukan manusia secara manusiawi. Ini menjadi bukti nyata yang semestinya menyadarkan kita, bahwa nilai tertinggi dari agama adalah kemanusiaan. Perbedaan bukanlah masalah, justru memperindah hidup. Ini pesan moral yang sering kita lupakan,” kata Dian.
Menurut Dian, pandemi Covid-19 justru mengajarkan bahwa kepedulian menjadi kunci utama bagi manusia. Tiap orang tanpa memandang agama, suku, dan beragam identitas yang dimiliki, mesti peduli agar dapat tetap bertahan hidup di tengah pandemi. Ketika kepedulian dikesampingkan, maka di banyak tempat akan terlihat bahwa penyebaran Covid-19 semakin meluas.
“Penghargaan dan kepedulian terhadap keberagaman, menjadi modal utama kekuatan bersama di tengah situasi saat ini. Supaya bisa bekerjasama untuk mencegah Covid-19, maka kepedulian terhadap keberagaman tak bisa hanya sebatas teori. Hanya masyarakat yang saling peduli, mampu bertahan dan menekan penyebaran Covid-19,” ujar Dian.
Dian mengajak seluruh masyarakat menyerap makna menghargai keberagaman. Apabila nantinya penyebaran Covid-19 sudah dapat benar-benar dikendalikan, semangat merawat keberagaman semestinya tidak ditinggalkan dan dilupakan. “Pengembangan nilai-nilai positif dari sikap pengakuan, toleransi, dan empati terhadap keberagaman, semestinya diteruskan kepada generasi mendatang, demi kehidupan yang lebih baik,” ajaknya.
Liputan ini didukung oleh hibah Story Grant dari Serikat Jurnalis Keberagaman (SEJUK)-Inernews.