Anak Disabilitas Bisa Mandiri Jika Orangtua Lakukan Hal Ini
Diskusi tersebut diselenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sekolah Alam Terpadu Cerlang Pontianak bekerjasama dengan SAPDA Yogyakarta.
Antara lain sedih, marah, penolakan, depresi, dan kompromi. Menurut Sholih banyak orangtua yang tidak selesai pada tahap penolakan, sehingga tidak bisa menerima kondisi anaknya.
Lidia mengakui awalnya tidak menerima kondisi Reta, tapi dia tak ingin menelantarkan Reta, yang dianggapnya sebagai amanat dari Tuhan.
Lidia juga pernah merasa nyaris menyerah untuk berjuang, karena lelah membagi waktu, pikiran, dan tenaga untuk mendidik dan membawa Reta berobat. Ayah dan kakak Reta yang menguatkan Lidia untuk terus berupaya.
• Komunitas Aku Belajar Jadi Wadah Gerakan Peduli Kependidikan Anak Muda
“Sekarang Reta bise bantu-bantu kalau saye sakit. Alhamdulillah Reta perhatian dengan orangtue,” tuturnya.
Lidia melatih kemampuan Reta secara bertahap. Mulai dari cara membersihkan diri, makan, dan lainnya.
“Bu Lidia selalu memasang target yang realistis, disesuaikan dengan kemampuan orangtua dan keluarga. Ini yang penting.
Target pertama bisa menerima anak. Target kedua, bagaimana anak ini bisa mengurus diri sendiri. Target ketiga, anak saya bisa bantu-bantu orangtua,” ulas Sholih.
Satu lagi pola asuh positif, yang menurut Sholih telah diterapkan Lidia adalah tidak membanding-bandingkan kemampuan anaknya dengan anak disabilitas lain. Sikap seperti itu berlandaskan sikap Lidia dan keluarga yang menerima kondisi Reta.
Pola asuh positif artinya meminimalkan hambatan bagi anak disabilitas.
Sholih memaparkan ada empat level hambatan yang dialami anak disabilitas.
Level pertama adalah hambatan personal atau diri sendiri. Level kedua yakni hambatan keluarga, berkaitan dengan keluarga atau orang-orang terdekat anak disabilitas.
“Hambatan ketiga adalah hambatan lingkungan, akan bisa dihadapi jika hambatan personal dan hambatan keluarga bisa diatasi.
Sedangkan hambatan keempat adalah hambatan regulasi atau hambatan negara”. (*)