Ramadhan 2020
MUTIARA RAMADHAN - Ramadan dan Pendidikan Keluarga
Ramadhan1441 tahun ini terasa berbeda. Kita berpuasa di tengah mewabahnya pandemi Virus Corona Disease (Covid-19).
Aspari Ismail SPdI MPd
Dosen IAIN Pontianak
RAMADHAN 1441 tahun ini terasa berbeda. Kita berpuasa di tengah mewabahnya pandemi Virus Corona Disease (Covid-19).
Penyebaran Covid yang terus meluas, membuat kita semakin waswas. Sejumlah imbauan dan kebijakan diambil pemerintah. Di antaranya "stay at home", "social distancing", "physical distancing", "work from home". Belajar, bekerja, bahkan beribadah pun di rumah.
Sebagai orang yang beriman, yang dipanggil untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan ini, tentu harus disambut dengan hati yang lapang.
Doa kita saat Ramadan tahun lalu berakhir, bahkan doa itu sering diulang-ulang dipanjatkan sejak di bulan Rajab, dikabulkan Allah dengan mempertemukan kita lagi pada Ramadan yang penuh berkah ini.
Tentu, kesempatan yang dianugerahkan Allah tersebut harus kita maksimalkan dan tak boleh disia-siakan.
Boleh jadi, adanya virus Corona ini sebagai peringatan dari Allah untuk kita menata pendidikan keluarga.
Barangkali dalam beberapa episode kehidupan yang kita lalui, kita abai dalam memberikan perhatian kepada keluarga di rumah.
Ramadan tahun ini kita jadikan sebagai gerakan mewujudkan adagium "rumahku surgaku".
Suami, istri dan anak-harus harus memainkan tugas dan fungsi masing-masing dengan tulus-ikhlas untuk membuat warga di rumah merasa betah dan dirindukan laksana Surga.
Saya teringat dengan tulisan Prie GS. Di bukunya berjudul Waras di Zaman Edan (2013: 8-10), ia terangkan, "Tak ada tempat sebaik dan senyaman rumah. Maka, benarlah kalau rumah sering disetarakan surga karena nilai-nilainya yang lengkap.
Oleh karena itu, gagal mendapatkan nilai di rumah setara dengan kehilangan surga yang begitu dekat, begitu nyata.
Jika surga yang dekat-dekat ini saja gagal kita dapatkan, agak sulit membayangkan untuk mendapatkan surga yang ada jauh di sana itu" tulisnya.
Ujian kepemimpinan itu, kata Prie GS, lengkap tersedia di sebuah keluarga.
Ia menyarankan segenap keluarga agar mengatasi ujian rutinitas yang membosankan dan melawan "virus biasa".
Banyak tokoh yang top, dikagumi banyak orang di luar rumah, tapi tiba-tiba menjadi sangat biasa bagi anggota keluarganya di rumah.
Seberapapun tinggi sebuah prestasi anggota keluarga, bisa terlihat sebagai soal yang biasa-biasa saja.
"Virus biasa" ini akan mengancam kehidupan rumah tangga. Suami menjadi biasa di mata istri. Istri menjadi biasa di mata suami.
Anak biasa saja di mata orangtua. Orangtua biasa di mata anak-anaknya. Karena semua terlihat biasa, makin lama nilainya merosot menjadi kebosanan yang bermuara para keretakan rumah tangga.
Sukses mengatasi ancaman rutinitas akan mendatangkan hasil menakjubkan.
Senafas dengan refleksi Pri GS, ada tulisan Jamil Azzaini di laman websitenya berjudul Semua Berawal dari Rumah juga mengingatkan para orangtua tentang pentingnya rumah.
Perlu dipahami, kata Jamil Azzaini-- bahwa pendidikan terbaik itu berawal dari rumah.
Saat di sekolah, biarkan anak memperoleh pendidikan akademik tetapi setibanya di rumah arahkan ia memperoleh pendidikan kehidupan langsung dari orang tuanya.
Jamil menasihati agar para orangtua mesti memiliki tiga keterampilan kunci dalam membina rumah tangga.
Kecakapan memberi nasehat, konsistensi memberi teladan, dan kesediaan untuk selalu mendengar.
Saat anak menghadapai berbagai persoalan, rumah adalah tempat menemukan solusinya.
Saat anak-anak galau, rumah adalah tempat untuk mengusir kegalauan itu.
Saat anak-anak bersedih, rumah adalah tempat menumpahkan air mata sebanyak-banyaknya.
Saat ia berprestasi, rumah adalah tempat yang paling prestisius untuk merayakannya.
Rumah bukan hanya tempat menginap dan berteduh. Rumah adalah tempat pendidikan terbaik bagi anak-anak kita.
Rumah adalah tempat curhat ternyaman bagi anak-anak kita. Rumah adalah sumber inspirasi bermutu khususnya bagi anak-anak yang sedang mencari jati diri.
Rumah bukanlah hotel atau restoran, yang hanya menjadi tempat menginap dan makan. Rumah adalah awal dari segala kebaikan dan keburukan. Segeralah fungsikan peran rumah Anda.
Membaca nasihat Prie GS dan Jamil Azzaini tersebut di atas membuat saya merenung. Tentu bukan perkara mudah menjadikan rumah sebagai `surga'.
Di zaman edan ini, banyak persoalan yang menyebabkan suasana batin keluarga terasa menjauh.
Misalnya saja, meski sama-sama berada di rumah, kadang kita justru sibuk dengan handpone masing-masing.
Suami sibuk dengan relasinya. Istri sibuk dengan teman-temannya.
Sebagai orangtua, kita mesti amalkan perintah Tuhan, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (Qs. At-Tahriim: 6).
Mari kita tancapkan niat untuk menjadikan adagium rumahku surgaku benar-benar nyata. Kita berkomitmen bersama pasangan dan anak-anak untuk meraih "surga" yang dekat dulu.
Kita sediakan waktu terbaik untuk mendidik buah hati dengan keteladanan.
"Satu keteladanan lebih baik daripada seribu kata-kata", demikian pesan mendiang Nurcholis Madjid yang akrab disapa Cak Nur.
Hal ini penting karena kita tentu tak ingin bila nanti di akhirat ketika sudah dipanggil untuk masuk surga, ternyata anak-anak kita komplain kepada Tuhan karena selama hidup di dunia ini kita tidak pernah peduli dengan pendidikan agama dan adab mereka. (*)