Hermansyah: Dalam Kasus Suap Gidot Tidak Ada Korban

Pasalnya, bisa saja orang berpendapat bahwa putusan 2 tahun itu tidak mencerminkan rasa keadilan.

Penulis: Syahroni | Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Ferryanto
Suasana persidangan 4 orang dari pihak swasta kasus suap bupati Bengkayang di pengadilan negeri Tipikor Pontianak. Selasa (7/1/2020). 

PONTIANAK - "Pertama, tentang pengertian korban, didalam tindak pidana korupsi khususnya pada tindak pidana suap menyuap, konstruksi hukumnya tidak ada yang disebut korban," terang Hermansyah, Pengamat Hukum Untan, Selasa (7/1/2019).

"Yang ada adalah penyuap aktif dan penyuap pasif, karena apa, dua-duanya hubungan antara pihak saling menguntungkan sifatnya. Sehingga tidak ada yang merasa dirugikan didalam kasus ini," tambah Hermansyah.

Dijelaskan Hermansyah kalau Suryadman Gidot meminta sesuatu pada para tersangka itu, pastinya pada saat memberikan sesuatu telah dipertimbangkan keuntungan yang akan diperoleh.

Jadi sebenarnya, konstruksi hukum mereka menyatakan kliennya adalah korban dari kasus Gidot, maka tidak masuk dalam konstruksi kasus suap menyuap.

Kemudian tentang hukuman, hakim memang mempunyai kekebasan untuk menjatuhkan lamanya hukuman.

"Tentunya mengacu pada pendekatan-pendekatan normatif yang ada, artinya hukuman dijatuhkan antara rentang batas minimum ke batas maksimum. Hakim boleh bermain direntang itu dalam memutuskan hukuman," imbuh Hermansyah.

Tapi kalau hukuman yang dijatuhkan ini diuji dengan dimensi-dimensi keadilan, menjadi problematik.

Fakta Persidangan Peladang, Andel Sebut Belum Ada Bukti Kuat Kliennya Melanggar Unsur Pidana 

Pasalnya, bisa saja orang berpendapat bahwa putusan 2 tahun itu tidak mencerminkan rasa keadilan.

Dalam arti rasa keadilan disini, semangat memberantas korupsi itu sejatinya disambut dengan aparat penegak hukum yang menjatuhkan hukuman yang cukup berar, sehingga ada penjeraan pihak lainnya.

"Ketiga, dengan dijatuhkannya putusan ini, membuktikan telah terjadi hubungan hukum antara pihak penyuap dan disuap," tambah Hermansyah.

Ini, tidak bisa terbantahkan lagi. Artinya bahwa Gidot jelas menerima suap, karena sipenyuap secara hukum sudah dibuktikan.

Kasus inikan displite atau dipisahkan, tapi tetap bagian satu kesatuan dalam konstruksi kasus suap Suryadman Gidot.

Hanya kepentingan dalam penyelidikan dan sebagainya, dilakukanlah pemisahan dalam persidangan.

"Dipisahkannya Gidot dan para penyuap ini tentu menjadi strategi KPK, karena dari sisi praktisnya dan mempermudahkan pembuktiannya.

Kemudian, asumsi hukumnya aksioma hukum manakala salah satu pihak terbukti maka pihak lainnya dengan sendiri akan mudah bagi jaksa dan  KPK membuktikannya.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved