Arsul Sani Ungkap Enam Nama Pengusul Revisi UU KPK

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan bahwa ada 6 orang pengusul

(DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com)
Arsul Sani 

JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengungkapkan bahwa ada 6 orang pengusul pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Usul tersebut diajukan dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR tanggal 3 September 2019, sekitar pukul 19.30 WIB.

"Ada pengusulnya. Kan enggak mungkin enggak ada pengusulnya. Setahu saya ada sekitar 6 orang," ujar Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2019).

Baca: VIDEO: Tim Penyidik KPK Geledah Ruang Kerja Bupati dan Sekda Bengkayang

Seperti diketahui rencana revisi UU KPK sempat mencuat pada 2017 lalu. Namun rencana tersebut ditunda karena mendapat penolakan keras dari kalangan masyarat sipil pegiat antikorupsi.

Mereka menilai poin-poin perubahan dalam UU tersebut akan melemahkan KPK.

Revisi UU KPK kembali mencuat dan disepakati dalam Rapat Paripurna pada Kamis (5/9/2019).

Menurut Arsul, dalam rapat baleg malam itu, hadir perwakilan dari seluruh fraksi.

Baca: Jokowi Jajal Mobil Esemka Pasca Diluncurkan, Feelingnya Bakal Laku Keras Harga di Bawah Rp 100 Juta

Meski sempat berdebat sekitar tiga jam, akhirnya perwakilan 10 fraksi menyetujui pembahasan revisi UU KPK dibawa ke Rapat Paripurna.

Namun Arsul enggan untuk menyebutkan secara spesifik nama keenam pengusul revisi UU KPK.

Ia juga tidak menjelaskan apakah pengusul berasal dari fraksi pendukung penerintah atau oposisi.

"Cuma enggak etis lah kalau saya sebut, yang jelas lintas fraksi. Fraksi itu kan ada 10 kalau pengusulnya ada 6 berarti maksimal ada 6 fraksi, kan gitu," kata Arsul.

Baca: Beritakan Kerusuhan Laga Indonesia Vs Malaysia, Media Asing Sebut Suporter Timnas TIFO yang Kerjam

Seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU  KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.

Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang.

"Apakah RUU tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui menjadi usul DPR RI?" tanya Wakil Ketua DPR Utut Adianto selaku pimpinan rapat.

Seluruh anggota DPR yang hadir pun kompak menyatakan setuju.

Baca: Jokowi Puji Waterfront Sungai Kapuas Pontianak

Tak ada fraksi yang mengajukan keberatan atau interupsi.

Tok!

Utut pun langsung mengetok palu sidang tanda diresmikannya revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR.

Tanggapan setiap fraksi atas usul RUU ini lalu langsung diserahkan secara tertulis kepada pimpinan, tidak dibacakan di dalam rapat paripurna.

Setelah diketok di Paripurna, Baleg bertekad mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.

"Ada tekad untuk menyelesaikan masa sidang ini," kata Anggota Baleg DPR Hendrawan Supratikno di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Hendrawan meyakini revisi UU ini bisa selesai dalam waktu singkat karena seluruh fraksi sudah satu suara.

Baca: Telurusi Sungai Tinjau Kampung Nelayan di Sungai Kapuas, Presiden Jokowi: Ini yang Paling Bagus

Ia mengklaim semua fraksi yang ada di Baleg sepakat bahwa UU KPK harus direvisi.

"Kalau tidak (sepakat) ngapain dibawa ke paripurna hari ini. Kalau tidak kan hanya menambah pekerjaan rumah (DPR periode) yang akan datang," ujar Hendrawan.

Hendrawan juga optimistis revisi UU ini akan cepat selesai karena DPR sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah.

Baca: Pasca OTT KPK, Rumah Pribadi Bupati Bengkayang dan Mess Pemda Sepi

Apalagi, kata dia, prinsipnya pemerintah juga sudah menyetujui revisi ini sejak lama sejak 2015. Hanya saja pembahasannya sempat tertunda.

"Nanti kita lihat (sikap pemerintah). Sebenarnya revisi ini sudah disepakati DPR dan pemerintah makanya masuk Prolegnas," kata dia.

Berdasarkan rapat Baleg pada 3 September 2019 dengan agenda pandangan fraksi-fraksi tentang penyusunan draf revisi UU KPK ada enam poin revisi UU KPK. 

Baca: HATTRICK OTT KPK, dari Sumsel, Jakarta lalu Kalbar, Kasus Komitmen Fee hingga Distribusi Gula

Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen. 

Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.

Untuk diketahui, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Baca: VIDEO: Bupati Paolus Hadi Resmikan RSUD Temenggung Gergaji Balai Karangan

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Baca juga: KPK Diminta Setuju Revisi UU KPK jika Ingin Tangani Korupsi Swasta dalam KUHP

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.

Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.

Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.

Operasi Senyap

Sebelumnya, wacana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK) kembali muncul setelah sekian lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Bak operasi senyap, tiba-tiba saja DPR mengagendakan rapat paripurna pada Kamis (5/9/2019) untuk membahas usulan Badan Legislasi (Baleg) atas revisi UU KPK.

Sejak wacana ini menjadi polemik, Baleg tidak pernah mempublikasikan rapat pembahasan draf rancangan undang-undang.

Baca: Partai Demokrat Dua Kali Pecat Suryadman Gidot Bupati Bengkayang, Terbaru Efek OTT KPK di Pontianak

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Masinton Pasaribu mengatakan, rencana revisi UU KPK memang sudah menjadi pembahasan sejak 2017.

Menurut dia, semua fraksi di DPR dan pemerintah sepakat akan rencana itu.

"Ya itu kan sudah lama ada di Baleg. Pemerintah dan DPR kan sudah 2017 lalu menyepakati untuk dilakukan revisi terbatas terhadap UU KPK itu," ujar Masinton saat dihubungi, Rabu (4/9/2019).

Baca: BUNGKAM, Bupati Bengkayang Suryadman Gidot Kenakan Rompi Orange, KPK Pisah Penahanan 7 Tersangka

Masinton mengatakan, poin revisi UU KPK saat ini tidak jauh berbeda dengan draf pada 2017 lalu.

Perubahan menyangkut beberapa hal, antara lain terkait penyadapan, keberadaan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3), dan status kepegawaian KPK.

Poin perubahan ini juga tidak jauh berbeda dengan rekomendasi Panitia Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Hak Angket KPK) terkait hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang diumumkan pada 2018.

"Revisi terkait dengan penyadapan, dewan pengawas, kewenangan SP3 dan tentang pegawai KPK," kata Masinton.

Adapun substansi revisi yang disepakati menyangkut enam poin perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.

Poin pertama, kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen.

Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.

Baca: KRONOLOGI Bupati Bengkayang Suryadman Gidot jadi Tersangka KPK hingga Komentar Gubernur Sutarmidji

Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas.

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu, sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.

Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.

Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.

Bisa lemahkan KPK

Saat, wacana revisi UU KPK mengemuka pada 2017, keenam poin ini mendapat kritik dari kalangan pegiat antikorupsi.

Mereka mengkhawatirkan rencana tersebut akan melemahkan kewenangan KPK. Sebab, beberapa ketentuan revisi dianggap akan berimplikasi pada kewenangan KPK.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Miko Ginting menilai, revisi UU KPK belum diperlukan.

Pertama, ia berpendapat konsep pembentukan dewan pengawas tidak jelas dan dapat bertentangan dengan UU KPK.

Begitu juga kewenangan dewan pegawas dalam menyusun kode etik untuk pimpinan KPK.

Baca: Bupati Bengkayang di-OTT KPK, Bupati Atbah Imbau Kadis dan Jajaran di Sambas Taat Aturan

Sistem kontrol di internal KPK, menurut Miko, telah tercipta melalui pengambilan keputusan yang tidak didasari pada satu orang.

Kedua, terkait penyadapan melalui izin dewan pengawas. Miko menuturkan, hal ini mencampuradukkan kewenangan pengawasan lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro justitia.

Sementara itu, dalam UU KPK saat ini, penyadapan dilakukan atas izin pimpinan KPK.

Miko juga mengkritik soal kewenangan SP3. Ia memandang KPK tidak perlu memiliki kewenangan menerbitkan SP3.

Selama ini, adanya tersangka atau terdakwa yang sakit keras dan meninggal memang menjadi alasan agar KPK memiliki ketentuan SP3.

"Saya kira tidak ada urgensinya mengingat conviction rate KPK masih cukup baik sejauh ini. Apabila ada tersangka atau terdakwa yang sakit keras atau meninggal, KPK bisa mengajukan tuntutan bebas ke pengadilan," ucap Miko.

(*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved