Idul Adha
Puncak Ibadah Haji, Dr Syarif : Hikmah Wukuf di Arafah
Tapi sebenarnya kemutlakan wukuf di ‘arafah dan kesyakralanya akan lebih terasa jika kita dapat mengenal ushul-nya wukuf di ‘arafah.
Penulis: Anggita Putri | Editor: Tri Pandito Wibowo
Puncak Ibadah Haji, Dr Syarif : Hikmah Wukuf di Arafah
Citizen Reporter Rektor IAIN Pontianak, Dr Syarif
PONTIANAK - Wukuf di ‘Arafah adalah rukun haji yang paling mutlak. Artinya wukuf di ‘Arafah sangat ketat dan mendebarkan oleh karena kesyakralannya dan oleh karena waktunya terbatas.
Tidak seperti rukun haji yang lain yang bisa dikerjakan bergeser dari waktu keumuman.
Bahkan ada fatwa bahwa rukun bisa di jamak dengan wajib haji seperti thawaf ifadhah yang rukun dan thawaf wada’ yang wajib haji.
Oleh karena itu hatta hampir sekarat pun, hatta hanya satu detik pun menjelang batas akhir yaum ‘arafah, para haji harus hadir di sana.
Tapi sebenarnya kemutlakan wukuf di ‘arafah dan kesyakralanya akan lebih terasa jika kita dapat mengenal ushul-nya wukuf di ‘arafah. Dengan mengetahui USHUL ini maka akan terasa urgensinya ‘arafah dalam beragama. Ini nanti kaitannya adalah dengan bahwa “istithâ’ah-mampu” itu tidak sekedar mampu financial.
Mari kita mulai dengan pertanyaan, mengapa harus wukuf di padang ‘arafah dan kenapa tidak di padang yang lain. Apa pula sebabnya padang yang sebelum peristiwa perjumpaan Adam dengan Hawa itu hanya disebut “shakhrâ’-sahara” itu kemudian dikenal dengan nama ‘arafah’. Apa urgensinya dalam beragama ‘arafah itu dijadikan rukun utama dari haji.
Bermula dari hadis “al-hajju ‘arafah”, bahwa rukun syariat haji wukuf di arafah. Secara leterlek bahasa hadis ini tidak bermakna langsung wukuf di arafah. al-hajju ‘arafah ini secara bahasa berarti “haji itu mengenal”.
Baca: Sutarmidji Harap Komisi Penyiaran Indonesia Jadi Komisi Independen Laksanakan Tupoksinya
Baca: Ciptakan Kader Kreatif dan Inovatif, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama IPPNU Mempawah Gelar Makesta
Dalam kajian ma’rifat “haji/hujjah” itu diartikan “perjumpaan, berhadapan” dengan Tuhan, Allah Swt. Maka rangkian kata “al-hajju ‘arafah” itu artinya “berjumpa itu mengenal”.
Maka kemudian diartikan “berjumpa-berhadapan dengan Tuhan itu harus dengan mengenal Tuhan”. Dari kata ‘arafah ini dapat difahami hasis qudsi “ma’rifatullâhi billâhi-mengenal Allah Dengan Allah”. ‘araftu rabbî birabbî-mengenal Tuhanku Dengan Tuhanku”.
Nanti tentunya bukan mengenal nama atau sebutan saja. Tetapi cari Wujud Yang Dengan Allah, maka akan kenal Allah. Tentu supaya tidak jatuh ke lembah kesombonga beragama, sebelum mengena diri yang dengan Tuhan, sebelum mengenal Diri yang Dengan Allah, maka kita harus tahu wujud diri yang datang dari pada Allah.
Alquran dan hadis-hadis terkait sangat jelas membedakam antara wujud yang datang karena sebab orang tua yaitu jasag dan wujud yang datang langsung dari pada Allah Ruh, baca nusalnya Qs. al-Thâriq/86:5-7, al-Mukminun/23:12-14, al-Sajadah/32:7-9.
Adanya dua dimensi wujud ini maka kita dalam menghdap Allah, dalam menyembah tidak boleh hanya mengandalkan ritualistik lahiriah seperti bacaan dan gerakan anggita tubuh semata. Karena Allah tidak beehajat mengurus fisik lahiriah kita, melainlan Dia hanya mengurus wujud yang datang dari pada-Nya yaitu Ruh (Qs. al-Isrâ’/17:85). Di sini nanti letak urgensinya manasik secara hakikat.
Jadi secara bahasa “al-hajju ‘arafah” ini tidak langsung menunjuk padang arafah. Karena kalimatnya bukan begini “al-hajju fî mîdânil ‘arafah-haji itu hadir di padang arafah”.
Tetapi syariat wukuf di padang arafah ini ada ushulnya, ada sebabnya, mengapa harus di padang arafah. Ialah, setelah adam mendapat kaliamat pertobatan dari Tuhannaya yaitu “rabbaná zhalamnâ anfusanâ wa inlam taghfir lanâ wa tarhamnâ lanakûnanna mina al-khâsirîn-Tuhan, kami telah zhalim akan diri kami, jika Engkau tidak mengampuni kami, pasti kami jadi orang-orang yang rugi”(Qs. al-A’raf/7:23).