Idul Adha
Puncak Ibadah Haji, Dr Syarif : Hikmah Wukuf di Arafah
Tapi sebenarnya kemutlakan wukuf di ‘arafah dan kesyakralanya akan lebih terasa jika kita dapat mengenal ushul-nya wukuf di ‘arafah.
Penulis: Anggita Putri | Editor: Tri Pandito Wibowo
Beragama yang sempurna secara syariat dan hakikat ini berhikmah yang melahirkan sempurnanya hidup di permukaan bumi ini. Sempurnanya hidup itu ada pada hati yang tertata. Hati yang tertata itu haknya Allah Swt.
Sedangkan Allah itu “laisa lahû
‘anâshirun min al-ajsâm-Allah itu tidak tersusun dari materi”. Itu sebabnya jika hati ingin ditata oleh Allah Swt jangan hanya mengandalkan amalan yang syariat saja yang berupa bacaan dan gerakan. Karena jika itu saja maka kita tidak ditilik, tidak dinilai oleh-Nya.
Jika demikaian tidak tertatalah hati kita. Maka mengeraslah hati. Hati kita akan penuh dengan sifat emosiobal-mudah marah dan mudah tersinggung. Penuh dengan sifat bangga diri-angkuh, haus sanjungan dan pujian, takabbur membeaar-besarkan diri, iri-dengki, menghasut-menfitnah, tamak-loba, dan sombong. Ini ringkasan inti dari penyakit hati.
Dengan begini, maka kita jauh dari kesempurnaan diri. Yang ada kita menjadi sunber semua persoalan di permukaan bumi. Akhirnya haji kita hampa dari HIKMAH ‘ARAFAH. Haji tinggal hanya tambahan gelar (H) melengkapi sederet gelar duniawi kita. Na’ûdzu billâhi min hâdzâ.
Izinkan saya menutup sementara uraian ini dengan tuntunan Rasulullah tentang kesempurnaan, yaitu “al-syarî’ati bilâ haqîqatin ‘âthilah wa al-haqîqatu bilâ syarî’atin bâthilah-syariat dengan tiada hakikat hampa-sia-sia, dan hakikat dengan tiada syariat batal”. Man syâa fa al-yakfur wa man syâa fa al-yu’min.
Makkah,
8 Dzulhijjah 1440
9 Agustus 2019