Kemitraan Patnership dan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau Gelar Program Pengelolaan Lansekap Terpadu
Kemitraan Patnership dan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau menggelar Program Pengelolaan Lansekap terpadu dan berkelanjutan
Penulis: Anggita Putri | Editor: Madrosid
Kemitraan Patnership dan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau Gelar Program Pengelolaan Lansekap Terpadu
PONTIANAK - Kemitraan Patnership dan Yayasan Inisiatif Dagang Hijau menggelar Program Pengelolaan Lansekap terpadu dan berkelanjutan diseminasi praktik yang baik dan pembelajaran bersama, di Hotel Ibis Pontianak, selasa (21/5/2019).
Stepanus Djuweng, Manager Proyek Pendekatan Pengelolaan Bentang Alam Terpadu Berkelanjutan (Integrated Sustainable Landscape Management Approach-ISLA) Kubu-Ketapang mengatakan pada kunjungan awal dalam rangka diseminasi kegiatan, Aktivis Kemitraan yang bercerita tentang pencegahan Karhutla, disambut dengan nada penolakan.
Kehati-hatian masyarakat bukan tidak beralasan. Pertama, pemadaman api waktu membakar ladang mengancam kesinambungan kedaualatan dan ketahanan pangan.
Baca: Niat Sholat Sunah Rawatib Qabliyah & Badiyah Sebelum Zuhur, Subuh & Setelah Zuhur, Maghrib, Isya
Baca: Mau Tahu Info Seputar Penerbangan? Indonesia Airport Aja
Baca: Anggota DPR RI Dapil Kalbar Minta Perusahaan Tertib Bayarkan THR Pekerja
Kedua, dalam berbagai publikasi media masa, petani ladang dianggap sebagai penyebab utama karhutla.
Ketiga, Aktivis Kemitraan dianggap sebagai karyawan perusahaan yang membujuk masyarakat untuk melepaskan lahan.
Dengan kondisi ini, setengah tahun pertama dihabiskan untuk menciptakan prakondisi penerimaan masyarakat, pemerintah desa, pemerintah kecamatan dan bahkan pemerintah provinsi dan perusahaan.
Kemitraan, menempatkan 4 fasilitator komunitas (Community Facilitator), seorang setiap desa. Mereka tinggal di desa, menjalin hubungan dengan para pemimpin, tokoh masyarakat, aktivis perempuan dan para pemuda.
Mereka berbaur, melakukan edukasi, mengorganisir untuk menyiapkan pra-kondisi yang kondusif untuk pelaksanaan program Kemitraan.
Fase pertama dari program berlangsung dari Maret 2017 hingga Mei 2019. Seiring perjalanan waktu penerimaaan masyarakat, pemerintah desa, dan pihak perusahaan semakin baik.
Program ini, kata Stepanus Djuweng, telah melibatkan secara langsung 1.112 orang dari 10 dusun, empat desa, terdiri dari penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan dan bahkan anak-anak sekolah SD dan SMP.
Tingkat partisipasi mereka berbeda-beda. Mulai dari peserta sosialisasi, analisis sederhana karhutla dan perlindungan satwa, pelatihan, lokakarya, perencanaan, pelaksana program dan peserta evaluasi program.
Lantas dialog yang terbuka dan sejajar antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan melalui berbagai kegiatan sudah berjalan.
Selanjutnya kerjasama diperkuat dengan dibentuknya Forum Pengelolaan Bentang Alam Terintegrasi Berkelanjutan. Fungsi Forum adalah sebagai wadah tertinggi para pemangku kepentingan.
Kerja nyatanya dilaksanakan oleh Tim Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan, Tim Manajemen Perlindungan Satwa Primata; dan Tim Manajemen Pemberdayaan Usaha Ekonomi Mikro.
Pada tingkat Desa dan Dusun sudah terbentuk 12 Tim Pengelolaan Sumber Daya Alam (KPSDA).
Sepuluh dari 12 Tim ini sudah memiliki tiga komponen kegiatan utama, yakni Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan, Konservasi dan Usaha Ekonomi Produktif.
Khusus ekonomi produktif, sudah tertanam 19,519 batang bibit jengkol, dengan luasan sekitar 84 ha di tiga desa. Usaha lainnya adalah 4 kelompok pengelola keramba ikan pada 3 desa, dan budidaya jagung-keladi seluas 7.5 ha, di desa Kualan Hilir, dan singkong tapioka (8 hektar) di 2 desa Sekucing Kualan.
Disepakati sebagian sisa hasil usaha dari kegiatan ini untuk membiayai usaha pencegahan Karhutla dan Konsevasi.
Membaca grafik kebakaran hutan dan lahan dari 2015-2018, terlihat penurunan yang signifikan setiap tahunnya.
Forum Landscape disertakan 6 set alat pemadam kebakaran yang berada di 6 Dusun untuk kelompok PSDA. Capaian lain adalah dimasukkannya Program Panaggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan serta Perlindungan Satwa Primata ke dalam RPJM Desa.
Di balik praktek-praktek terbaik, tantangan selalu ada dan multi dimensional. Dari sisi sosial budaya berkaitan dengan pengelolaan lansekap, antara lain pola pertanian lahan kering gilir balik dengan pola pembakaran selalau dianggap sebagai biang kerok kebakaran hutan dan lahan.
Kedua, dari sisi hak kepemilikan dan pengusaan lahan antara klaim masyarakat kepemilikan adat dan penetapan kawasan hutan oleh pemerintah;
Ketiga, pola pikir para pemangku kepenting yang masih awam terhadap pendekatan terintegrasi pengelolaan bentang alam. Kemitraan tidak lantas berkemampuan untuk menangani tantangan ini berikut segala dampaknya.
Padi, dan siklus perladangan adalah tema sentral dalam kehidupan sosial, budaya, spiritual dan ekonomi masyarakat setempat. Maka mendesak untuk memperkenalkan dan memfsiltasi usaha pertanian intensif, terintegrasi secara berkelanjutan. Dan tentu saja, memperkuat dialog dan kerjasama para pemangku kepentingan, melanjutkan usaha pengembangan kapasitas institutsi dan sumber daya manusia .