Penghargaan Bagi Mohammad Natsir, MUI Usulkan 3 April Jadi Hari NKRI, Siapa Mohammad Natsir?

Semasa hidupnya, Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang ulama, politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Jimmi Abraham
ISTIMEWA/net
Pahlawan nasional Indonesia Mohammad Natsir 

Penghargaan Bagi Mohammad Natsir, MUI Usulkan 3 April Jadi Hari NKRI, Siapa Mohammad Natsir

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana usulkan 3 April sebagai Hari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kepada Presiden Joko Widodo. 

Pengusulan itu sebagai bentuk penghargaan bagi jasa pahlawan nasional Mohammad Natsir.

Mohammad Natsir dinilai telah berperan dalam Mosi Integral Natsir yang disahkan pada 3 April 1950.

Baca: TERUNGKAP! Ini Sejarah Simbol Dollar Amerika Serikat, Bermula Ketidaksengajaan, Siapa Penemunya?

Baca: Crash di MotoGP Argentina 2019, Maverick Vinales Anggap Insidennya Wajar

Baca: INFO UPDATE Seleksi PPPK/P3K, 199 Pemda Tunggu Persetujuan BKN, Hanya Kemenristekdikti Selesai DS

Wacana ini terlontar dari Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Muhyiddin Junaidi saat acara Sarasehan bertajuk Peran Umat Islam Dalam Mempelopori, Mendirikan, Mengawal dan Membela NKRI di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Senin (1/4/2019).

Semasa hidupnya, Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang ulama, politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan tokoh Islam terkemuka Indonesia.

Mohammad Natsir pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-5. 

Natsir pernah dipercaya sebagai Menteri Penerangan di era pemerintahan Orde Lama Soekarno

Ia juga pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Baca: WOW, Buku Harry Potter Langka Terjual Rp 1,2 Miliar, Padahal Ada Salah Ketik

Baca: Daftar Pemain Bulutangkis Indonesia di Malaysia Open 2019, Kirim 26 Wakil, Ada Marcus/Kevin

Baca: JADWAL Persija Jakarta Vs Ceres Negros, Macan Kemayoran Geber Latihan di Kandang Lawan

Berikut Tribunpontianak.co.id rangkum profil Mohammad Natsir dari berbagai sumber : 

Mohammad Natsir merupakan putera daerah asli dari Minangkabau.

Ia lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatra Barat pada 17 Juli 1908.

Mohammad Natsir meninggal dunia pada 6 Februari 1993. 

Natsir berasal dari keluarga terpandang di Minangkabau. Ia punya gelar Mohammad Natsir Datuk Sinaro.

Sebelum pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan SMA, Natsir hidup dan besar di Solok. 

Natsir aktif mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi.

Baca: Tahanan Meninggal Dunia, Kapolsek Marau Bantah Ada Pembayaran Denda Adat

Baca: Donald Trump Teken Pengakuan Pencaplokan Golan oleh Israel, Liga Arab Kecam Keras Amerika Serikat

Baca: Hari Perdana, Sebanyak 41 SMA dan 3372 di Sintang Ikuti Pelaksanaan UNBK

Pada pertengahan 1930-an, ia terjun ke dunia politik dengan bergabung di partai politik berideologi Islam.

Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929.

Hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain.

Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia.

Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim.

Selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno.

Pada tahun 1938, Natsir bergabung dengan Partai Islam Indonesia dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942.

Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia yang kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi.

Mohammad Natsir diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.

Baca: Momen April Mop! Google Rilis Software Pendeteksi dan Pembersih Noda di Layar Ponsel ?

Baca: Tanggapi Soal Video Rizieq Shihab, Jubir Menlu Arrmanatha Nasir: Pernyataan RS Itu Fitnah

Baca: Jadwal Liga Inggris Malam Ini, Ada Arsenal, Manchester City Kudeta Liverpool dari Puncak Klasemen

Suka Menulis

Selama menjalani pendidikannya di AMS, Natsir telah terlibat dalam dunia jurnalistik.

Pada 1929, dua artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah Algemeen Indische Dagblad, yaitu berjudul Qur'an en Evangelie (Al-Quran dan Injil) dan Muhammad als Profeet (Muhammad sebagai Nabi).

Kemudian, ia bersama tokoh Islam lainnya mendirikan surat kabar Pembela Islam yang terbit dari tahun 1929 sampai 1935.

Ia juga banyak menulis tentang pandangannya terhadap agama di berbagai majalah Islam seperti Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Al-Manar.

Menurutnya, Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia.

Natsir telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam.

Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929. Karya terawalnya umumnya berbahasa Belanda dan Indonesia, yang banyak membahas tentang pemikiran Islam, budaya, hubungan antara Islam dan politik, dan peran perempuan dalam Islam.

Karya-karya selanjutnya banyak yang ditulis dalam bahasa Inggris, dan lebih terfokus pada politik, pemberitaan tentang Islam, dan hubungan antara umat Kristiani dengan Muslim.

Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam.

Selain menulis, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930; sekolah tersebut ditutup setelah pendudukan Jepang di Indonesia.

Baca: Adelia Pasha, Istri Wakil Wakil Kota Palu Dinyatakan Bersalah Langgar Administrasi Pemilu

Baca: Sakit Hati Tak Mau Biayai Pernikahan, Jasmin Aniaya Ayahnya Hingga Tewas

Baca: AMALAN Bulan Rajab Isra Miraj 2019, Sayyidul Istighfar, Berpuasa hingga Bacaan Terakhir Bulan Rajab

Karier Mohammad Natsir

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Mohammad Natsir menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.

Sebelum menjadi perdana menteri, ia menjabat sebagai menteri penerangan.

Pada tanggal 3 April 1950, Natsir mengajukan Mosi Integral Natsir dalam sidang pleno parlemen.

Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Indonesia yang mendorong semua pihak untuk berjuang dengan tertib, merasa terbantu dengan adanya mosi ini.

Mosi ini memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebelumnya berbentuk serikat, sehingga ia diangkat menjadi perdana menteri Indonesia kelima oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1950.

Namun, ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena perselisihan paham dengan Soekarno, Soekarno yang menganut paham nasionalisme mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji sekularisasi yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Kesultanan Utsmaniyah.

Sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Kesultanan Utsmaniyah dengan menunjukkan akibat-akibat negatif sekularisasi.

Natsir juga mengkritik Soekarno bahwa dia kurang memperhatikan kesejahteraan di luar Pulau Jawa.

Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, Natsir semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno.

Selama era demokrasi terpimpin di Indonesia, ia terlibat dalam pertentangan terhadap pemerintah yang semakin otoriter dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia setelah meninggalkan Pulau Jawa.

PRRI yang menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas disalahtafsirkan oleh Soekarno sebagai pemberontakan.

Akibatnya, Natsir ditangkap dan dipenjarakan di Malang dari tahun 1962 sampai 1964, dan dibebaskan pada masa Orde Baru pada tanggal 26 Juli 1966.

Setelah dibebaskan dari penjara, Natsir kembali terlibat dalam organisasi-organisasi Islam, seperti Majelis Ta'sisi Rabitah Alam Islami dan Majelis Ala al-Alami lil Masjid yang berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di Karachi, Pakistan.

Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Natsir juga mengkritikisi kebijakan pemerintah, seperti ketika ia menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980, yang menyebabkan ia dilarang pergi ke luar negeri.

Penghargaan Luar Negeri

Pemerintah Indonesia saat itu, baik yang dipimpin oleh Soekarno maupun Soeharto sama-sama menuding Mohammad Natsir sebagai pemberontak dan pembangkang.

Bahkan tudingan tersebut membuatnya dipenjarakan. Sedangkan oleh negara-negara lain, Natsir sangat dihormati dan dihargai, hingga banyak penghargaan yang dianugerahkan kepadanya.

Selama hidupnya, Mohammad Natsir dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia.

Dunia Islam mengakui Mohammad Natsir sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara.

Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam.

Pada tahun 1957, ia menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey atas jasanya membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.

Penghargaan internasional lainnya yaitu Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada tahun 1980, dan penghargaan dari beberapa ulama dan pemikir terkenal seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A'la Maududi.

Pada tahun 1980, Natsir dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh, Arab Saudi.

Ia juga memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967.

Pada tahun 1991, ia memperoleh dua gelar kehormatan, yaitu dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains Malaysia.

Penghargaan Pahlawan Nasional 

Pemerintah Indonesia baru menghormatinya setelah 15 tahun kematiannya, pada 10 November 2008 Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Pada masa Presiden BJ Habibie, Mohammad Natsir diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. 

Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah.  

MUI Siapkan Proposal Usulan

Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Muhyiddin Junaidi mengatakan pihaknya akan siapkan sejumlah langkah guna mendorong usulan itu. 

"Nanti akan dibentuk tim panel khusus terdiri dari pakar-pakar, baik itu dari ormas dan pakar-pakar sejarah lainnya untuk melengkapi dan menyiapkan proposal yang akan diserahkan kepada pemerintah Indonesia," kata Muhyiddin dikutip dari Kompas.com saat acara Sarasehan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta, Senin (1/4/2019). 

Menurut Muhyiddin, jasa Mohammad Natsir pantas diperingati setiap tahunnya meski Natsir sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

"Mohammad Natsir adalah seorang hamba Allah yang memiliki multitalenta. Beliau ini seorang pemimpin, seorang ulama, seorang politikus," kata dia.

Mantan Ketua MK Setuju Gagasan Hari NKRI

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie menjelaskan, Mosi Integral Natsir merupakan keputusan parlemen mengenai bersatunya kembali sistem pemerintahan Indonesia menjadi kesatuan yang digagas Natsir.

Dengan disepakatinya Mosi Integral Natsir pada 3 April 1950, maka artinya Islam tidak anti terhadap NKRI.

"Intinya ketentuan mengenai NKRI memuat kandungan ideologi, bukan pasal biasa. Dan ini semua merupakan peran dan jasa Pak Mohammad Natsir," kata Jimly.

Jimly pun setuju dengan gagasan peringatan Hari NKRI. Namun demikian, gagasan ini membutuhkan dukungan banyak pihak untuk mewujudkan ide peringatan Hari NKRI ini.

Menurut Jimly, karakter Mohammad Natsir sebagai tokoh bangsa hendaknya diteladani para politisi jaman sekarang.

"Integritasnya, ketegasannya, kesederhanaannya, keikhlasannya bekerja untuk bangsa dan negara. Itu penting," katanya. (*)

Lebih dekat dengan kami, follow akun Instagram (IG) Tribun Pontianak :

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved