Hingga Pekan Kedua Februari 2019, 7 Orang Meninggal Dunia Akibat DBD di Kalbar
Sampai minggu kedua, totalnya se-Kalbar ada 570 kasus DBD. Bulan Januari 2019 ada 344 kasus. Bulan Februari hingga pekan kedua ada 226 kasus
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Tri Pandito Wibowo
Hingga Pekan Kedua Februari 2019, 7 Orang Meninggal Dunia Akibat DBD di Kalbar
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Kalimantan Barat mencatat 570 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi di Provinsi Kalimantan Barat hingga pekan kedua Februari 2019.
Kabupaten Ketapang menjadi daerah kasus DBD paling terbanyak di Kalbar yakni 184 kasus. Lantas diikuti Kabupaten Kubu Raya 102 kasus, Kabupaten Mempawah 43 kasus, Kabupaten Bengkayang 39 kasus, Kota Singkawang 32 kasus dan Kabupaten Sintang 30 kasus.
Kemudian, Kota Pontianak 26 kasus, Kabupaten Sambas 25 kasus, Kabupaten Landak 19 kasus, Kabupaten Kayong Utara 17 kasus, Kapuas Hulu 15 kasus, Kabupaten Sekadau 13 kasus, Kabupaten Sanggau 13 kasus dan Kabupaten Melawi 12 kasus.
“Sampai minggu kedua, totalnya se-Kalbar ada 570 kasus DBD. Bulan Januari 2019 ada 344 kasus. Bulan Februari hingga pekan kedua ada 226 kasus,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar drg Harry Agung Tjahyadi, Selasa (19/2/2019).
Baca: Foto-foto Pembukaan Pawai Naga dan Barongsai Ditandai Pelepasan Burung Merpati Oleh Seluruh Tamu VIP
Baca: Foto-foto Karnaval Pada Gelaran Cap Go Meh 2019 di Jalan Diponegoro Singkawang
Baca: BREAKING NEWS - Wanita Tergantung di Ventilasi Rumahnya di Pontianak, Silet & Kursi jadi Petunjuk
Dari 570 kasus DBD itu, 7 diantaranya akibatkan penderitanya meninggal dunia. 7 kasus meninggal dunia DBD terjadi di Kabupaten Ketapang 4 orang, Kabupaten Kubu Raya 1 orang, Kabupaten Sanggau 1 orang dan Kabupaten Kapuas Hulu 1 orang.
“Kasus kematian akibat DBD di Januari 2019 ada 4 kasus. Lalu, hingga dua minggu di Februari 2019 ada 3 kasus. Jadi, total ada 7 kematian hingga pekan kedua Februari,” terangnya.
Harry menimpali hingga saat ini belum ada satupun kabupaten atau kota yang menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD. Penetapan KLB menjadi kewenangan pimpinan daerah setempat dalam hal ini Bupati atau Wali Kota.
“Belum ada yang menetapkan KLB. Secara resmi, belum ada laporan terkait itu dari pimpinan daerah,” katanya.
Penetapan status KLB DBD, kata dia, lazimnya mempertimbangkan banyak hal. Angka kasus DBD misalnya, harus selalu dipantau apakah kasus yang terjadi pada satu bulan itu lebih atau bahkan dua kali lipat dari angka kasus DBD tahun sebelumnya.
“Jadi, status KLB DBD itu tidak hanya berkaitan dengan jumlah angka kasus yang naik. Tapi, melihat apakah naiknya ekstrim semisal dua kali lipat atau lebih,” imbuhnya.
Selain itu, status KLB juga mempertimbangkan Case Fatality Rate (CFR) DBD atau suatu angka yang dinyatakan ke dalam prosentase berisikan data orang yang mengalami kematian akibat DBD yakni 1 per 100.000 penduduk.
“Kalau prosentasenya di bawah satu persen, berarti itu pertolongan cepat dan jumlah kematian dianggap tidak terlalu signifikan. Tapi, kalau lebih dari satu persen, berarti itu warning (perhatian_red). Ini pertimbangan menentukan KLB atau tidak,” paparnya.
Penetapan status KLB dari pimpinan daerah diakui sangat perlu ketika berbagai hal pertimbangan itu telah terjadi. Tujuannya agar dilakukan upaya lebih cepat dan massal secara serentak untuk atasi wabah endemik DBD.
Kendati demikian, Harry mengakui ada juga pemahaman KLB berdasarkan Dinas Kesehatan (Diskes) masing-masing kabupaten atau kota. Namun, ia tegaskan pemahaman KLB dari Dinas Kesehatan itu tidak bisa disamakan dengan penetapan KLB dari pimpinan daerah.