Kaji Ulang SKB Tiga Menteri, Pengamat Hukum Untan: Hukum Undang-Undang Tidak Boleh Berlaku Surut
Simak analisisnya saat diwawancarai Tribun Pontianak, Minggu (6/1/2019) malam dalam penjelasan berikut ini :
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Madrosid
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Pengamat Hukum Untan, Ferrys Zainuddin memberikan analisis terkait pemecatan oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) oleh Pemerintah Pusat dan jajaran Pemerintah Daerah.
Sebagai tindaklanjut Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (MenPANRB) dan Kepala Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 15 Tahun 2018.
Simak analisisnya saat diwawancarai Tribun Pontianak, Minggu (6/1/2019) malam dalam penjelasan berikut ini :
“Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (MenPANRB) dan Kepala Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 15 Tahun 2018 harus dikaji ulang.
Baca: Bupati Manokwari Ancam Lapor Polisi Soal Video Viral Menuduh Dirinya Mengamuk di Klub Makassar
Baca: Sandiaga Harap Debat Perdana Tidak Saling Serang Tak Juga Seperti Cerdas Cermat
Baca: RSUD Sambas Raih Bintang Empat, ICMI: Ini Bisa Dorong Peningkatan IPM
Sebab, bertentangan dengan azas legalitas Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat beberapa hal. Pertama, hukum Undang-Undang tidak boleh berlaku surut.
Kedua, tidak boleh ditafsirkan seenak-senak elo (kamu_red). Itu harus dikaji ulang dan semua harus paham.
SKB itu berlaku surut. Soalnya, kalau hukum pidana kan Undang-Undang. Kalau dibawah Undang-Undang itu kan tidak boleh. SKB ini kesepakatan tiga Menteri.
Apakah SKB bisa menghapuskan Undang-Undang? Sedangkan dalam urutan perundang-undangan, SKB itu tidak masuk dalam Undang-Undang karena memang bukan Undang-Undang.
Mesti dipahami bahwa SKB tidak bisa mengubah, membatalkan atau menelaah undang-undang.
Menurut saya, SKB tidak bisa diterapkan karena saya menilai dari kacamata hukum.
Pernyataan ini jangan diartikan jika saya membela korupsi. Saya dan semua orang bahkan sangat suka dan ingin korupsi diberantas dan berangus dalam kehidupan bernegara.
Namun, kita tetap harus berpijak pada hukum.
Baca: Pasca Vanessa Angel Ditangkap di Hotel, Reaksi Sang Kekasih dan Jane Shalimar Yang Siapkan Lawyer
Baca: Terjaring Razia, Seorang Anggota Polres Sanggau Positif Konsumsi Narkoba
Jika berlaku surut, maka tentu bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Maka tentu saja, SKB ini tidak berlaku menurut saya.
Jika tetap diberlakukan walaupun melabrak hukum, sama saja ini kembali zaman pemerintahan dahulu dimana TAP MPR bisa mengubah Undang-Undang. Ini kan namanya kebablasan.
Itu tidak benar dan saya tegaskan kembali bahwa tidak boleh berlaku surut.
Ke depan, itu harus diubah dulu. Jadi, jangan SKB. Harus masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dahulu, lalu dibuat Undang-Undangnya. Harus ada peraturan hukum jelas dan punya kekuatan hukum.
SKB ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Ini sangat salah dan bertentangan dengan hukum.
Pemerintah harus menegakkan hukum dan jangan menentang Undang-Undang.
Kita boleh berantas korupsi tapi dengan cara lain yakni menegakkan Undang-Undang. SKB ini secara hukum tidak bisa, karena kita adalah negara yang berdasarkan hukum.
Merka yang tidak terima dengan pemecatan ini bisa saja melapor ke Pengadilan dan menuntut SKB tiga menteri itu. Kalau kita mau jelas ya dijudicial review. Kalau hakim ya pasti benar melalui sidang peradilan.
Untuk memberantas korupsi itu memang perlu komitmen semua pihak.
Baca: SEDANG BERLANGSUNG LIVE STREAMING India Vs Thailand AFC Asian Cup 2019
Baca: Ganjar Sebut Ada 16 Kelompok Kerja Yang Dinilai Nyaris Sempurna
Namun, saya juga mengkritisi pemerintah kenapa sampai saat ini peluang korupsi terus diadakan. Lalu, tidak ada juga koordinasi antara Aparat Penegak Hukum (APH) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Contoh kasus, memark-up harga untuk pengadaan barang dan jasa. Ini tentu sesuatu hal yang dipertanyakan. Tanpa mark-up harga bisa kah untung? Mungkin tidak? Kan tidak mungkin, karena pihak yang tender harus bayar pajak, membuat tender anggaran segala macam dan memperkirakan keuntungan.
Satu barang itu normal jika dinaikkan sekitar 30 persen. Sebab, hal itu mempertimbangkan besaran pajak yang harus dibayar sebesar 15 persen dan keuntungan sebesar 10 persen.
Itu belum lagi untuk membuat tender. Lalu dianggap mark-up 30 persen.
Bisa kah perusahaan kerja tidak ada untung ? Lalu, siapa yang bayar pajak. Kalau pajak bebas sih oke. Aparat Penegak Hukum (APH) tidak mau tahu dengan kondisi ini.
Itulah yang terjadi ketika orang itu benar korupsi atau tidak korupsi dianggap korupsi. Kemudian, terjadilah kriminalisasi.
Semua seperti itu, akhirnya korupsi semua. Kalau Polisi dan Kejaksaan tidak tahu itu ya semuanya dianggap korupsi. Kalau memang mau harga pengadan barang dan jasa itu sesuai pasaran, maka saya harap tidak perlu proses tender lagi.
Langsung saja kantor atau instansi bersangkutan melaksanakan. Sebenarnya, tidak ada tender perusahaan itu lebih bagus. Karena itu jadi peluang korupsi dan itu ada.
Baca: Kasus Protitusi Artis Vanessa Angel, Hotman Paris Geram Minta Aparat Ekspos Nama Konglomerat
Baca: DR Aswandi Kritisi Kebijakan Pemprov Kalbar Akan Gratiskan Sekolah, Justru Berikan Saran Begini
Contoh lain, terkadang personel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang datang itu bukan dengan latar belakang sesuai dengan komponen yang diawasi.
Semisal, dalam proyek datang pasir kering sekian kubik ke lokasi proyek, begitu kena air atau masuk ke dalam air maka pasir kan menyusut.
Antara pasir basah dan pasir kering itu beda. Untuk kasus seperti ini yang berlatar belakang ahli teknik tentu tahu, kalau lainnya mungkin kurang paham.
Saya minta harus ada komisi kolaborasi khusus terdiri dari unsur Kejaksaan, KPK dan Polisi yang benar-benar tahu dan paham.
Untuk menilai bangunan bawa staf ahli dari teknis. Asal tahu saja, kasus korupsi itu jika dibagi sebagian benar-benar korupsi dan sebagian lagi kriminalisasi. Saya banyak temukan kasus kriminalisasi korupsi.
Saran saya untuk memberantas korupsi, pertama Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi itu harus diperbaiki lah. Kedua, buat Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang mengatur pengadaan barang dan jasa sedemikian rupa agar tidak ada peluang korupsi.
Ketiga, Aparat Penegak Hukum (APH) harus ditatar tentang bagaimana caranya pengadaan barang dan jasa.