Kisah Pilu Buruh Wanita di Perusahaan Sawit, Melahirkan di Kebun Hingga Tanpa BPJS

Temuan lain dari data yang mereka kumpulkan di lapangan, adalah keberadaan buruh wanita yang mengalami kanker payudara

Penulis: Try Juliansyah | Editor: Dhita Mutiasari
ISTIMEWA
Ilustrasi 

Laporan Wartawan Tribunpontianak, Try Juliansyah

TRIBUN PONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Seorang buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit melahirkan di areal perkebunan dalam perjalanan pulang ke rumah.

Sementara di Kubu Raya, seorang buruh melahirkan, setelah pagi hingga siang hari masih bekerja di perkebunan sawit.

Dua temuan LinkAR Borneo itu, menjadi contoh minimnya pemenuhan hak-hak bagi para buruh perempuan yang bekerja di perkebunan kelapa sawit.

Baca: Libatkan Saka Bhayangkara Pada Ops Ketupat Kapuas 2018, Ini Tanggapan Kasat Lantas

Baca: Cornelis Hadiri Pelantikan Pengurus Perkumpulan Hakka Indonesia Kalbar

Baca: Innalillahi Wainnalilallhirojiun, H.A.Madjid Hasan Mantan Walkot Pontianak Meninggal di Makkah

Baca: Jadi Siluman Hingga Melahirkan di Tengah Kebun, Derita Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit

Bahkan saat hamil besar, sudah mendekati melahirkan, mereka tetap bekerja demi mencukupi kebutuhan hidup.

"Mereka tidak diberi hak untuk cuti. Alasannya karena mereka Buruh Harian Lepas," ungkap Deputi LinkAr Borneo, Ade Irma Handayani dalam diskusi Konflik Agraria dan Buruh di Perusahaan sawit, bersama awak media, Minggu (10/6/2018).

Sejatinya menurut dia, buruh perempuan ini bisa saja berhenti kerja sementara namun harus menyiapkan pengganti. Hal itu diakuinya agar mereka tak diputus kontrak oleh perusahaan.

"Mau tidak mau harus mencari pengganti sementara agar kontraknya tidak diputus. Kalau berhenti begitu saja, tidak dapat pesangon karena status mereka Buruh Harian Lepas. Kalau berhenti, mereka juga harus membuat kontrak baru seperti awal bekerja," katanya.

Temuan lain dari data yang mereka kumpulkan di lapangan, adalah keberadaan buruh wanita yang
mengalami kanker payudara

Akibat sakitnya, buruh wanita ini diberhentikan tanpa pesangon dan tidak didaftarkan perusaan sebagai peserta BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan.

"Ini kita temukan di satu perkebunan sawit di Kubu Raya, padahal dia bekerja lebih dari 25 tahun. Dari upah Rp 15 ribu sampai Rp 75 ribu, tapi statusnya tetap Buruh Harian Lepas," ujarnya.

Karena dianggap lemah, menurutnya buruh wanita biasanya ditempatkan di bagian perawatan. Perlakuannya juga berbeda karena menurut perusahaan perawatan bukan bagian dari produksi.

"Bagian perawatan ini sebenarnya sama pentingnya bahkan bisa lebih berbahaya, mereka nyemprot dan pupuk. Sehingga mereka nyebar dengan tangan kosong tanpa baju khusus, masker juga seadanya dan buruh siapkan alat sendiri," katanya.

Pemerintah Tak Mampu Selesaikan

Konflik di perusahaan sawit di Kalbar terus saja muncul dari tahun ke tahun, dan baru-baru ini di Kubu Raya, antara buruh lepas harian dan pihak perusahaan. Permasalahan serupa terus terjadi dan seakan tidak terselesaikan oleh pemerintah. 

Direktur Link-Ar Borneo, Agus Sutomo menilai pemerintah masih belum optimal dalam menyelesaikan konflik agraria maupun kondisi buruh di perusahaan kelapa sawit

"Kendati diselesaikan justru rasa keadilan tidak terjawab, pemerintah malah berpihak ke perusahaan dengan asumsi perusahaan telah membuka lapangan pekerjaan dan infrastruktur. Masih banyak persoalan yang tidak terjawab dan pemerintahan yang justru diam," katanya 

Menurutnya jika ini terus dibiarkan maka iklim investasi bisa jadi tidak baik dengan adanya tuduhan dari dunia internasional terkait perusahaan sawit di indonesia.

"Harusnya melalui BUMN yang bergerak dibidang perkebunan sawit bisa memberikan contoh dalam pengelolaan konflik baik itu konflik agraria maupun dengan buruh di perusahaan swait tersebut. Sehingga bisa menjawab tuduhan dunia internasional yang mengatakan perkebunperusahaanitu tidak berkelanjutan dan deforestasi, nah BUMN seharusnya bisa menjawab itu tidak benar," katanya.

Peran pemerintah daerah diakuinya memang telah ada namun masih belum optimal.

"Pemerintah telah berusaha dengan ada tim yang di bentuk tim tp3kk dan ada tim 5K di Sanggau untuk menyelesaikan konflik tapi belum optimal," lanjutnya.

Kemudian ia juga menilai pemerintah pusat belum secara serius untuk menyikapi konflik di perushaan sawit ini. Kendati telah mengeluarkan regulasi namun masih dinilai olehnya jalan di tempat. 

"Saya melihat pemerintah pusat hanya mampu melahirkan regulasi yang hanya berjalan ditempat dalam penyelesaian konflik agraria. Presiden belum mengeluarkan moratorium yang harusnya menjadi pintu perbaikan dan tata kelola yang lebih baik," katanya. 

Satu diantara regulasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia untuk menjaga kualitas sawit Indonesia di dunia internasional juga masih hanya sebatas kepentingan ekonomi. Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) hanya sebuah regulasi yang pada akhirnya tidak dapat menyelesaikan konflik khusunya di daerah. 

"ISPO kemudian hanya bersifat mandatori, nah contohnya yang konflik di hulu, perusahaan merupakan anggota RSPO yang melanggar HAM malah mendapat penghargaan, ini menjadi aneh ketika ada UUD yang mengatur tapi tidak berjalan dengan baik," katanya.

Kemudian terkait persoalan dan konflik buruh dengan perusahaan, ia menilai presiden hanya mampu berotrika belaka. 

"Bagaimana soal buruh, selain berotrika belaka, presiden keras mengatakan selesaikan konflik ini. Namun bagaimana dengan pejabat di bawahnya, apakah menyikapi dengan baik, atau hanya dianggap angin lalu karena ada kepentingan politik dan lainnya," tutupnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved